Lintang Hati

Seminggu ini Lintang dimarahi terus. Adaa saja tingkah lakunya yang sangat menjengkelkan. Semuanya adalah kebiasaan yang melekat : susah makan dan cengeng. Dua hal yang membuatku selalu kehabisan kesabaran. Padahal kesabaran tak berbatas, tak boleh habis, dan harus selalu diusahakan. Setelah anger management yang gagal minggu lalu ( baca : banting barang), minggu ini kutahan sekuat tenaga agar tak membanting apa pun saat kesabaranku menipis menghadapi perilaku Lintang.

 Di titik ini, aku bener-bener ga tau harus ngapain. Perilaku anak adalah cermin hasil didikan orangtua. Tanggung jawabku 100% terhadap perkembangan psikologis Lintang. Akan bagaimana dan menjadi apa ia kelak, semua bermula dari hari ini. Masih ada setahun untuk memapanka n hal – hal baik dalam dirinya.

Namun, makin hari makin aku tak tahu harus bagaimana? Membiarkan saja atau memaklumi karena dia anak – anak? Apakah harus kudiamkan kalau Lintang makan ga teratur dan ga jelas kualitas gizinya? Apakah harus kumaklumi kalau dia tak mau solat? Apakah harus kudiamkan kalau dia malas TST di GO padahal nilai matematikanya sangat ironis sementara aku pun kurang pandai matematika sehingga tak bisa membantunya? Apakah aku harus membiarkan Lintang malas mandi padahal bau badannya sangat mengganggu? Apakah harus kubiarkan ia tak mau solat dengan harapan kelak ia akan solat sendiri? Apakah hal – hal kecil yang buruk itu harus kubiarkan dengan harapan kelak ia akan tahu sendiri? Apakah itu bijaksana?

 Apa yang harus kulakukan? Bagaimana menyikapi pembangkangan anak hampir gede seperti lintang? Bagaimana menjaga stok kesabaran? Aku tak menuntutnya menjadi anak berprestasi secara akademis atau menjadi juara ini itu. Aku takkan menuntutnya. Yang kuharapkan Lintang mau berusaha, mau tertib, dan tidak moody saat tertib. Itu saja : mau berusaha. Sayangnya, Lintang tidak punya semua itu. Ia malas, cengeng, dan seenaknya sendiri. Ditambah manja.

 Allah, tidak adakah hal baik yang melekat pada karakter anakku? Setiap mempertanyakan itu, seringkali kuhibur hatiku kalau Lintang berhati tulus dan mudah trenyuh melihat kesulitan orang lain. Itu saja. Itu modal kecerdasan sosial, tapi selama ia masih sekolah, ia harus tertib dengan semua aturan. Kalaupun akademis tidak berprestasi, seandainya kegiatan di luar sekolah ada hasilnya. Atau minimal ia rajin mengaji dan solat.

Sayangnya, tak kutemukan itu padanya. Apakah karena aku sering memaksanya, potensi berbohong semakin besar? Aku tak tahu. Aku memaksa karena ia sudah keterlaluan seenaknya. Sudah terlalu banyak yang tidak mau dilakukannya padahal itu penting dilakukan. Sungguh, aku bingung di titik ini.

Apa yang harus kulakukan? Ancamanku mengirimnya tinggal sama ayahnya ekspresi ketidakberdayaanku sebenarnya. Tapi itu tentu bukan solusi. Solusinya ada padaku. Pasti ada jalan keluar meski belum jelas apa. Kumulai dari diriku sendiri. Tertib dariku sndiri. Tidur tidak larut malam dan bangun saat subuh lalu beraktivitas.

Semoga menjadi teladan untuk Lintang. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya, tampaknya mental semua. Kupilih tertib dalam diam. Hatiku jengkel luar biasa kepadanya. Sangat marah sebenarnya. Tapi, marah pun tak ada gunanya. Diam apakah membuat anakku paham?? Wallahualam.

Aku enggan kepadanya. Semoga enggan ini tidak menetap. Semoga berangsur hilang, semoga pemaafaan ini segera datang. Ia manusia buka robot. Ia punya kemauan dan kemampuan sendiri. Itu sudah kumengerti.

Namun, apakah salah memintanya mengaji, makan teratur sesuai takaran, dan belajar rajin agar ia bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Itu saja yang kuinginkan. Takperlu menjadi juara. Yang penting kamu berusaha dan bekerja keras, Nak. Itu saja yang ibu inginkan. Sayangnya, ibu tak melihat itu padamu hingga usiamu 11 tahun. Atau ibu harus menunggu lebih lama lagi? Sepuluh atau dua puluh tahun lagi?

 Semoga Allah senantiasa memberiku kesabaran . . . Astaghfirullahal’adziim . . .

No comments