Makna Headline bagi Kompasianer

Lama sekali saya tidak menulis di kompasiana. Saking lupanya, saya tidak ingat kapan terakhir menulis di sana. Seperti yang lain, ide menulis sebenarnya kerap muncul, tapi eksekusinya yang sering gagal. Akibatnya, ide-ide itu menguap tanpa bekas. Yang tersisa hanya sisa-sisa kata yang taktahu bagaimana merangkai alurnya. 

Mulanya saya sangat semangat menulis tentang kemenangan Trump di Pilpres Amerika November silam. Namun, kesempatan fokus menulis yang tak kunjung disempatkan membuat ide berikut gambaran tentang alur tulisan itu menguap pelahan hingga hilang. Akhirnya, ya sudah, tak ada ide menarik lagi untuk ditulis. Saya agak menyesal sebetulnya karena momentum menulis tentang Trump saat itu sedang hangat-hangatnya. Di koran langganan saya, hampir tiap hari opini yang dimuat bicara tentang Trump dari berbagai sudut pandang. Saya memang tidak atau lebih tepatnya belum berencana mengirimkan tulisan itu -kalau sudah jadi- ke media cetak. Cukuplah saya posting di Kompasiana. Mengapa Kompasiana? Karena saya yakin tingkat keterbacaannya. Kalau di blog pribadi, bisa jadi hanya saya yang membaca. Kebetulan di blog baru ini, saya belum punya follower yang akan membaca setiap tulisan yang saya posting.

Saat label penistaan agama mengemuka, saya belum tertarik menuliskannya. Saya merasa belum punya cukup referensi untuk menyoal pembahasan itu. Ketika masalah makin memanas, saya masih menjadi pengamat yang diam. Ternyata kasus itu menimbulkan reaksi dahsyat yang direalisasikan dalam aksi 411 dilanjutkan 212. Meskipun pada 411, ada kerusuhan di malam harinya, aksi 411 dinilai berjalan tertib dan damai. Begitu pula aksi 212, takhanya tertib dan damai, tetapi juga tak ada sampah berserakan yang tertinggal. Maka tak heran, jika banyak pihak terlebih saudara-saudara yang terlibat langsung dengan aksi itu berucap, "Masya Allah..." Ada keharuan luar biasa saat mengikuti aksi dan meninggalkan lokasi aksi. Ada kebahagiaan, kebanggaan, dan mungkin keimanan yang bertambah sekian persen di hati masing-masing. Wallahualam....

Namun, ketertiban dan kedamaian di dunia nyata tak berhasil mendinginkan panasnya dunia maya alias media sosial. Berbagai komentar penghakiman, komentar caci maki, hinaan, dan sebagainya yang membakar hati dan memerahkan telinga berlalu-lalang di beranda. Ada yang meresponsnya dengan takkalah sengit, ada yang mendiamkan, bahkan ada pula yang langsung memutuskan pertemanan. Berbagai reaksi di media sosial makin lama makin mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu membuat saya ingin menulis lagi. 

Kekhawatiran yang tidak hanya dilatarbelakangi kasus penistaan agama, tetapi juga beberapa peristiwa terakhir yang berlatar agama. Penghentian ibadah KKR di Sabuga dan permintaan diturunkannya spanduk Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Yogyakarta karena memasang foto mahasiswa berhijab. Keduanya dilakukan oleh ormas Islam dengan alasan-alasan yang bisa dibaca di media massa lalu dibumbui dengan beragam subjektivitas di status-status media sosial. 

Saat itu, 8 Desember 2016, saya hanya ingin menulis dan berharap ada yang sempat membaca tulisan saya lalu merenungkannya. Saya tak berharap ia akan masuk headline, terpopuler, atau mendapat nilai tertinggi. Kalau bisa masuk artikel pilihan, itu sudah bagus, pikir saya. Esok paginya, saya cek tulisan saya. masuk ke bagian mana? berapa banyak yang membaca? Betapa bahagianya saya pagi itu, tulisan saya masuk headline Kompasiana. Ciri tulisan masuk headline adalah admin Kompasiana akan menyisipkan capture gambar pada tulisan kita. 

Duluu, sekira tahun 2012, tulisan saya pernah masuk headline Kompasiana juga. Ada capture gambar yang ditambahkan adminnya. Perasaan saya senang sekali. Itu artinya, isi tulisan kita diakui berkualitas oleh Kompasianer (sebutan untuk pengguna Kompasiana). Parameternya, tulisan kita dibaca 900 orang sehingga bisa menjadi headline. Bagaimana caranya agar tulisan bisa masuk headline? dari yang saya amati , tulislah tema-tema yang sedang tren, yang masih sangat aktual, dan masukkan data ke dalamnya. Kecuali jika kita ingin menulis puisi atau cerpen, takselalu harus pilih tema aktual.

Saya mengetahui caranya, tetapi tidak selalu berhasil mempraktikkannya. Memilih tema dan menuliskannya tidak mudah, bagi saya. Harus ada alur logis yang terangkai dalam tulisan, ada data yang bisa dimasukkan agar tulisan kita menarik dan bernas. Untuk itu, bukalah mata, telinga, tajamkan hati, dan kemampuan logika kita untuk menganalisis masalah. Jika semua itu terasah, biasanya tulisan-tulisan kita akan bernas dan menarik dibaca. Itu pun nasihat sekaligus tips bagi saya sendiri 😊




 
 

Renungan Kematian

Hari Minggu kemarin, saya dan keluarga menjenguk tetangga sebelah yang dirawat di Rumah Sakit Kebon Jati, Bandung. Karena terbiasa memanggil `Mbah`, setibanya di rumah sakit, mulanya saya bingung juga nama beliau saat bertanya pada satpam lokasi ruangan Bougenville tempat beliau dirawat. Setelah menelepon Ibu RT, akhirnya saya tahu nama beliau, `Ibu Supiah`. Duh, hampir dua tahun kami bertetangga, saya takpernah mengetahui nama beliau. Betapa saya tetangga yang payah karena terlalu sibuk bekerja.
Ruang Bougenville terletak di lantai 2 gedung ini. Saya baru dua kali menjenguk relasi di rumah sakit ini. Kali pertama kalau tidk aslah semasa SMP, waktu itu, saya bersama teman-teman sekelas menjenguk wali kelas kami. Bangunan rumah sakit ini kusam, terkesan tidak terawat. Kesan lain yang tertangkap adalah bagnunan ini seperti sedang direnovasi.  Semoga kesan kedua yang benar. Entah karena bangunan tua entah karena kusamnya, jika kelak terpaksa harus dirawat di rumah sakit, semoga dirawat di rumah sakit yang nyaman dan terawat baik.

Ruangan tempat Mbah Supiah dirawat ada di ujung lorong. Syukurlah lorong ini terbuka sehingga udara segar terhirup leluasa. Kamar 239 tertulis di bagian atas kusen pintu masuk. Ada empat tempat tidur di ruangan tersebut. Masing-masing tempat tidur dipisahkan tirai berwarna coklat. Saya mengecek empat tidur itu. Melihat pasien yang terbaring di atasnya. Adakah Mbah Supiah di sana? Ternyata Mbah Supiah ada di tempat tidur pertama dekat pintu masuk. Tubuhnya sangat kurus. Erangan kesakitan takhenti terdengar dari mulutya. Tangannya yang diinfus takbisa diam. Aroma taksedap menguar dari ruang tempat tidurnya. Beliau tidak menyadari kedatangan kami.
Ibu mertua mengajak saya keluar ruangan. Saya pun mengajak anak saya, Lintang, keluar. Sementara itu, ibu saya masih ada di dekat Mbah Supiah. menyentuh tangannya, meluruskan tangan berinfus itu agar takbanyak bergerak. Takada siapa pun di dekat Mbah Supiah. Namun, saya melihat ada seorang wanita dan dua orang pria paruh baya di luar ruangan. Saya masuk lagi ingin melihat keadaan Mbah Supiah saat perempuan paruh baya bermasker itu masuk juga ke ruangan Mbah Supiah. Ia ternyata adiknya. Ibu saya berbincang cukup lama dengannya, sedangkan saya memutuskan kembali ke luar karena taktahan dengan aroma taksedap yang menguar memenuhi ruang tempat tidur itu.

Selang beberapa menit, kami berpamitan diiringi doa semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk Mbah Supiah dan keluarga yang merawatnya. Kondisi Mbah Supiah masih terbayang-bayang di benak saya bahkan setelah kami tiba di rumah sore harinya. Erangan kesakitan beliau, tubuhnya yang tinggal tulang dibalut kulit, dan aroma tidak sedap yang menguar dari kamarnya. Ibu saya bilang, beliau menderita kanker kelenjar getah bening stadium IV. Kanker kelenjar getah bening disebut juga limfoma. Seperti semua kanker, itu adalah pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel di sekitar kelenjar getah bening. Kanker ini berkaitan dengan sistem limfatik pada tubuh kita. Sistem limfatik pada tubuh kita berfungsi sebagai penjaga kekebalan tubuh. Jika limfatik tidak bisa bekerja maksimal,daya tahan tubuh akan melemah. 
Sebenarnya kondisi demikian dialami oleh semua penderita kanker apa pun. Intinya jika tubuh kita tidak mendapat asupan salah satu unsur yang dibutuhkan, daya tahan tubuh akan melemah. Saya hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga Tuhan memberikan yang terbaik. Menjelang Maghrib, Ibu RT yang tinggal berseberangan dengan saya membawa kabar duka. Mbah Supiah meninggal dunia pukul 17.00 tadi. Saya yang sudah bersiap hendak solat Maghrib segera ke halaman. Ibu RT dan ibu saya sedang membahas kabar itu. Meskipun jarang berinteraksi dengan Mbah Supiah, saya merasa sedih. Tetangga yang ramah dan baik hati. Beliau tempat saya bertanya saat saya baru pindah ke rumah ini. Beliau juga kadang ikut mengawasi putri saya saat saya bekerja. Warung kecilnya membantu orang-orang sekitar memenuhi keperluan mendadak. Yah, seperti kata peribahasa, " Orang baik selalu mati muda."

Saya menjadi teringat paman saya, adik ibu, yang meninggal dua bulan lalu. Beliau meninggal karena kanker hati. Penyakit yang sama dengan ayah saya 23 tahun silam. Orang-orang baik yang dirasa sangat cepat pergi. Saat-saat mereka sakit masih teringat di benak saya. Tubuh yang sangat kurus, rasa sakit yang tak tertahankan, dan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk pengobatan. Masa-masa sulit itu mengingatkan saya pada bayangan seperti apa kondisi saya saat dijemput malaikat maut kelak? Apakah saya akan merintih kesakitan dalam waktu yang panjang? Apakah tubuh saya yang sudah kurus ini akan semakin kurus dan tampak memprihatinkan? Apakah asuransi saya cukup untuk membiayai semua pengobatan? Apakah saya bisa tetap sabar dan optimis menyikapi sakit saya? Wallahualam..Hanya Tuhan yang tahu seperti apa saya jika waktu itu tiba.