Perjalanan Mencari Esensi Kehidupan




www.pixabay.com

Seorang sahabat lama yang belasan tahun menghilang, tiba-tiba mengontak saya. Tentu saja saya gembira sekaligus terkejut menerima teleponnya. Keterkejutan saya semakin menjadi mendengar kisah hidupnya selama kurang lebih sebelas tahun terakhir. Ia menghilang karena sibuk dengan perjalanannya mencari Tuhan.

Perjalanan mencari Tuhan tidak dialami oleh semua orang. Pun saya, yang notabene lulusan filsafat. Karena saya lulusan filsafat, saya merasa setengah diri saya adalah filsuf. Klaim yang sombong. hehehe...Meskipun mengklaim setengah diri saya adalah filsuf, saya tetap membatasi diri ketika masuk hutan belantara pencarian Tuhan.

Sedikit intermezzo, berbulan-bulan lalu, saya bermimpi berdiskusi dengan seorang teman. Saya lupa persis isi diskusinya. Yang masih kelas saya ingat adalah pertanyaan teman saya,"Gimana kalau nggak ada jalan keluar?"
Di mimpi itu dengan mantap saya menjawab,"Kan ada Allah."


Saat bangun, saya langsung kagum sama diri sendiri. Di alam bawah sadar pun, saya sudah religius. Halah. Lebay yak? Hahaha...Anyway, kalimat penuh keyakinan di mimpi itu pula  yang membuat saya semakin yakin pada keyakinan saya terhadap eksistensi Tuhan. Meskipun saya tidak melakukan pencarian yang radikal seperti sebagian teman-teman, hati kecil saya juga mencari. Bedanya pencarian yang sangat hati-hati. 


Saya tidak berani membiarkan diri saya ada di hutan belantara pencarian ketuhanan. Hasilnya memang berbeda dengan teman-teman yang mencari dengan pembebasan sebebas-bebasnya. Apa sih pembebasan sebebas-bebasnya? Contoh sederhananya ia melepaskan keyakinannya, melepas atribut yang selama ini menjadi identitasnya, dan sebagainya.


Saya akui, saya tidak seberani itu. Meskipun di bangku kuliah, porsi belajar tentang esensi segala hal dalam kehidupan jauh lebih besar dari teman-teman yang hanya belajar Filsafat di semester 1 dan 2. Proses pencarian saya pun tidak dimulai saat belajar Pengantar Filsafat di semester 1. Atau saat  mengupas teori-teori dasar pemikiran para filsuf di zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. 


Saya masih bergeming saat Mazhab Frankfurt menggoncang pemikiran sebagian teman-teman. Atau saat Baudrillard dan teori simulakranya menjangkiti keyakinan sahabat-sahabat. Bahkan saat Nietzsche bilang,”Tuhan sudah mati,” saya tidak peduli.  Atau ketika Marx bilang,”Agama itu candu, saya tetap membutuhkan agama.  Saya pun tidak terlalu peduli dengan Foucault  yang sempat membuat teman-teman terkagum-kagum. Selama lima tahun berguru di fakultas Filsafat, filsuf yang sangat berkesan di hati hanya dua : Immanuel Kant dengan Imperatif Kategoris-nya dan Ludwig Wittgenstein dengan Language Games-nya.


www.pixabay.com
Hingga hari ini, saya masih berpegang pada pemikiran Kant, “Lakukan kebaikan karena kebaikan itu sendiri bukan karena imbalan atau alasan lain.”  Sementara pemikiran Wittgenstein yang menjadi pegangan hingga hari ini,”Apabila tidak bisa dibicarakan lagi, lalui dengan diam.”


Dari pemikiran kedua filsuf itu, saya tarik benang lain yang mengikat dua pemikiran itu. Benang pengikatnya saya ambil dari pemikiran Nietszche,”Apa pun yang tak membuat kita mati, akan menguatkan kita.” Yup, saat kita merasa sakit dengan kondisi yang tidak nyaman, tetapi kita harus tetap berbuat baik dan dalam kesulitan itu,kita takpunya lagi daya untuk menyampaikan ketidaknyamanan dengan kata-kata, diam menjadi jalan terbaik. 


Itulah yang tersisa dari perjalanan saya selama nyantri di fakultas Filsafat. Lalu, bagaimana dengan pencarian esensial yang sangat khas dengan mahasiswa Filsafat? Pencarian eksistensi Tuhan; pencarian keyakinan yang benar. Jujur, saya tidak terlalu melibatkan diri dengan dua hal itu. Saya lebih fokus pada filsafat manusia. Pada esensi kemanusiaan bukan pada eksistensi Tuhan. Meskipun sebenarnya eksistensi itu akan dipertanyakan saat kita bicara kemanusiaan. Kegelisahan yang menyebabkan Nietszche bilang,"God is dead."


Saya menerima apa adanya yang sudah melekat pada diri saya. Meskipun pada setiap diskusi Filsafat saya bisa berbusa-busa bicara tentang dua hal itu, saya menempatkannya cukup pada keliaran berpikir saja. Tidak saya biarkan masuk terlalu jauh ke dalam hati dan jiwa saya. Saat sahabat lama saya bercerita betapa ia jatuh bangun mencari hal esensial dalam hidupnya sehingga ia nyaris berpindah agama, nyaris putus asa dengan hidup yang sudah dijalaninya, pikiran nakal saya bilang,"Untung dulu saya nggak seserius itu cari Tuhan dan mempertanyakan Islam."


Saya sempat bertanya tentang Tuhan setelah menikah. Saya bertanya,"Apakah Tuhan adalah waktu? Karena di setiap proses kehidupan manusia, selalu ada pernyataan,"Waktu akan menyembuhkan segalanya."  Atau ada juga pernyataan,"Akan indah pada waktunya."


"Apakah Tuhan adalah waktu? Atau apakah Tuhan mengirimkan segala sesuatu lewat waktu? Jadi, apakah waktu itu?" mbulet yak? hehehe...


Seorang senior yang baik hati, saya menyebut dia sebagai mentor saya, menyarankan saya membaca buku Heidegger. Ia seorang filsuf sejarah. Bukunya berjudul Being and Time. Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang hubungan antara Yang Ada dan perjalanan waktu. Saya akan menulis tentnag buku ini di tulisan lain. Buku yang rumit, tersendat-sendat saya berusaha memahaminya. Betul memang. Kita tidak bisa sendirian dalam pencarian. Butuh Mentor, dia yang akan membimbing dan menjadi kawan diskusi hingga pertanyaan-pertanyaan terjawab.


Nah, sayangnya, tidak semua pencarian berhenti dengan happy ending. Seorang teman berhenti mencari setelah taksanggup lagi berdampingan dengan kanker otak yang dideritanya. Sahabat lama saya ini berhenti mencari setelah ia bercerai. Teman lain berhenti mencari setelah pindah keyakinan, teman yang lain berhenti mencari setelah orangtuanya meninggal dan sang kakak sakit jiwa.


Duh, kok banyak yang mengerikan ya? Tenang, yang berhenti mencari tanpa ada tragedi pun banyak kok. Yang pasti sih, berani mencari, berani terima konsekuensi.