Rokok Harus Mahal Demi Masa Depan Anak Indonesia

Foto : www.wartawanita.com

Setiap pagi, anak-anak SMK nongkrong di depan rumah saya. Kebetulan sekolah mereka memang dekat dengan perumahan tempat saya tinggal. Mereka biasanya nongkrong di situ untuk menghindari apel pagi. Dan nongkrong itu tidak hanya diisi ngobrol ngalor ngidul, tetapi juga klebas-klebus asap rokok di tengah mereka.

Saya dan suami kerap jengkel sekaligus prihatin dengan perilaku mereka. Selain asap rokoknya masuk ke rumah, di usia masih belia, mereka sudah merusak paru-parunya. Saya dan suami sering mengingatkan mereka untuk tidak nongkrong merokok di depan rumah saya. Respons mereka ya begitulah..iya..iya..tapi besoknya merokok lagi.

Anak-anak SMK nongkrong merokok juga sering saya jumpai di gang sempit dekat perumahan.  Tidak banyak yang mengakses gang sempit itu. Hanya sedikit orang yang sengaja melewatinya untuk memotong jalan. Anak-anak ini bahkan nongkrong di pagi hari, siang, hingga maghrib. Asap rokok takhenti mengepul di tengah mereka. 

Saya heran orang-orang dewasa di sekitar tempat nongkrong itu tidak menegur mereka. Usut punya usut, ternyata keberadaan anak-anak ini menguntungkan warung yang menjual rokok di situ. Tetangga sebelah saya membuka warung kelontong. Warung tetangga saya inilah tempat anak-anak itu membeli rokok. Sama halnya dengan kasus di gang sempit itu. Mereka nongkrong persis di depan warung jajanan yang menjual rokok juga. Jadi, kasarnya ada simbiosis mutualisma di antara mereka. Simbiosis mutualisma yang menyimpang.

Warung-warung rokok ini mungkin tidak peduli dengan kondisi ini. Yang penting jualannya laku, pikir mereka. Padahal seandainya mereka mau berpikir jauh ke depan, kebiasaan merokok ini membahayakan kesehatan anak-anak itu di masa depan. Selain membahayakan kesehatan, kebiasaan merokok sejak dini akan menciptakan ketergantungan terhadap nikotin hingga usia tua. Ketergantungan itu bisa diatasi selama si perokok segera sadar akan akibat buruk rokok. Bagaimana jika tidak? Bersiaplah negeri ini akan kehilangan bonus demografi 5-10 tahun akan datang.
Keprihatinan dan kekhawatiran terhadap generasi muda yang kecanduan rokok mendorong Yayasan LenteraAnak bersama FCTC Warrior mengungkapkan hasil survei yang menunjukkan harga rokok masih terjangkau anak-anak pasca kenaikan tarif cukai rokok 10,04 persen per Januari 2018. Sementara itu, data Tobacco Control Atlas ASEAN mencatat lebih dari 30 persen dari sekitar 20 juta anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun. 

Rokok bisa menjadi pintu gerbang penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya. Jika sudah fasih merokok, anak bisa saja tertarik mencoba hal lain yang lebih menantang agar tampak keren di komunitasnya. Atau saat embusan asap rokok mild atau kretek tak membantunya mengatasi kegalauan, ia bisa lari ke media lain, narkoba misalnya. Itu mungkin kekhawatiran berlebih yang saya pikirkan, tapi becermin dari kasus-kasus sebelumnya, hal itu bisa saja terjadi. 

Adakah cara yang bisa dilakukan agar anak-anak tidak bisa menjangkau rokok? Untuk itu, Radio KBR mengupasnya di Ruang Publik KBR dalam serial Rokok Harus Mahal. Pada hari Rabu, 18 Juli 2018, serial Rokok Harus Mahal sudah memasuki episode ke-6. Kali ini live dari Surabaya dengan narasumber :
1.Dr Santi Martini,dr. M Kes-- Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 
2.Lisda Sundari--- Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia 
3.Dr Sophiati Sutjahjani, M Kes ---Ketua Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur .

Foto Sugi Siswiyanti.


Dalam obrolan ini, dokter Santi memaparkan bahwa regulasi pemerintah dalam PP 109 tentang rokok sudah sangat lengkap. PP 109 menjelaskan bahwa rokok tidak boleh dijual kepada anak-anak atau orang di bawah umur 18 tahun. Selain itu, ada pasal yang melarang rokok dijual dalam kemasan kurang dari 20 batang. 
Jadi, yang urgent adalah implementasinya. Menaikkan harga rokok adalah keharusan. Seperti yang disampaikan Lisda Sundari bahwa kampanye rokok harus mahal mengajukan harga rokok Rp 80ribu/bungkus. Hal ini dilakukan agar daya beli anak-anak terhadap rokok tidak ada lagi, jelas Lisda. 
Sementara, Dr. Sophi menjelaskan bahwa dampak rokok bertambah, yaitu mengakibatkan stunting. Stunting itu selain pendek, ternyata juga kecerdasannya menurun. Bagaimana anak bangsa kita nanti? Kecil dan tidak pintar. Saat ini stunting salah satu dari 4 problem terbesar di Indonesia. Agar bonus demografi Indonesia tidak sia-sia, kita semua harus bergerak. 
Kita harus membangun persepsi denormalisasi merokok. Itu penting. Inilah alasan kegiatan seperti ini harus tetap dilakukan terutama mengampanyekan Smoke Free Campaign untuk anak-anak sedini mungkin. Kampanye ini akan membentuk pola pikir pada anak-anak perempuan dan laki-laki bahwa merokok itu berbahaya. Selanjutnya, anak-anak bisa berani meminta bapaknya untuk tidak merokok. 
Mari kita dukung kampanye rokok harus mahal agar anak-anak Indonesia tidak bisa menjangkau rokok. Kita bisa menyampaikan dukungan "Rokok Harus Mahal" dengan menandatangani petisinya di Change.org/rokokharusmahal.

Foto Sugi Siswiyanti.

Obrolan ini  bisa disimak lewat 100 radio jaringan KBR. Di Jakarta bisa disimak di Power Radio 89,2 FM. Kita bisa juga menyimak melalui aplikasi KBR Radio di Android dan iOS; fan page Kantor Berita Radio KBR. 

Obrolan Serial Rokok Harus Mahal ini masih akan tayang dua kali lagi setiap hari Rabu, tanggal 25 Juli 2018 dan 15 Agustus 2018, pukul 09.00 WIB - 11.00 WIB. Pasang alarm supaya tidak lupa :) Untuk blogger, ada lombanya juga. Jadi, bisa mendengarkan obrolan sambil menulis artikel bertema  rokok harus mahal.


No comments