dr.Widyawati, MKM (dok. Ncie Hani) |
Hari gini masih ada patriarki? ke laut aja...
Patriarki sekilas dianggap bukan masalah besar karena sudah menjadi bagian keseharian masyarakat. Ketika ayah diposisikan sebagai 'raja kecil' di rumah, ibu dan anak-anak menjadi pelayannya. Sebenarnya sih, kalau di kisah raja-raja, ibu berperan sebagai permaisuri. Namun, tidak di negeri ini. Kuatnya tradisi patriarki di kultur masyarakat kita menempatkan ibu dan anak perempuan sebagai kelompok tak berdaya; sebagai subordinat dalam keluarga.
Hari ini, 22 Desember 2018, bertepatan ngan perayaan Hari Ibu, Kemenkes mengundang blogger kesehatan untuk berbagi informasi seputar kondisi terkini kesehatan masyarakat Indonesia. Acara ini bertema Dengan Kesetaraan Gender Wujudkan Kesehatan Keluarga.
Tema yang amat menarik mengingat parameter kemajuan suatu masyarakat adalah kesadaran adanya kesetaraan gender dalam kehidupan mereka. Apakah parameter itu sudah dimiliki negeri dengan 250 juta jiwa ini? Jawabannya ternyata belum.
Di negeri ini, masih banyak dijumpai kesenjangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil pembangunan. Perempuan masih terbelenggu kekuasaan patriarki termasuk dalam pelayanan kesehatan.
Tingginya kasus stunting, kematian ibu, dan bayi di Indonesia mencerminkan masih jauhnya negeri ini dari pencapaian kesetaraan menikmati kesehatan dalam kehidupan. Mengapa perempuan yang menjadi korban? Karena mereka seringkali takpunya otoritas atas tubuhnya, atas masa depannya, bahkan atas apa yang dipikirkannya.
Perempuan takpunya otoritas atas tubuhnya ketika ia tak diberi kesempatan untuk merawat diri saat hamil. Perempuan takpunya otoritas atas masa depannya ketika orangtua memaksa ia menikah di usia masih sangat muda padahal ia masih ingin sekolah. Bahkan untuk berpikir tentang cita-citanya pun, perempuan takberani melakukannya. Ia takut terhadap kultur patriarki yang mengikatnya begitu erat.
Dalam kesempatan gathering ini, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, drg. Juanita P.F., M.KM., memaparkan prevalensi perkawianan pertama perempuan pada usia anak. Pada rentang waktu 2008 - 2016, usia perkawinan dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Apakah anak-anak perempuan bisa menolak? Mereka tak berdaya. Padahal akibat dari perkawinan di bawah umur, kekerasan fisik dan atau seksual amat rentan terjadi. Apakah ibu-ibu cilik yang dipaksa menikah ini paham bagaimana ia harus merawat janinnya, merawat bayinya saat lahir, mengatasi baby blues, dan mendidik anak-anaknya?
Apakah anak-anak perempuan bisa menolak? Mereka tak berdaya. Padahal akibat dari perkawinan di bawah umur, kekerasan fisik dan atau seksual amat rentan terjadi. Apakah ibu-ibu cilik yang dipaksa menikah ini paham bagaimana ia harus merawat janinnya, merawat bayinya saat lahir, mengatasi baby blues, dan mendidik anak-anaknya?
Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ia harus kuat fisik dan mental. Ia pun harus berwawasan baik agar dapat mendidik anak-anaknya dengan benar. Baik saja tidak cukup, ia harus tahu nutrisi yang tepat agar janinnya terjaga, bayi yang lahir sehat, dan dididik dengan benar.
Apa yang bisa dilakukan dinas kesehatan untuk mengatasi ini? Dinkes mengupayakan pelayanan kesehatan responsif gender dalam Program Indonsia Sehat melalui pendekatan keluarga.
Ada tiga program yang dilakukan:
Ada tiga program yang dilakukan:
1. program gizi, kesehatan ibu, dan anak
2. pengendalian penyakit menular dan tidak menular
3. perilaku dan kesehatan lingkungan
Ketiga program ini menjawab atau berusaha keras mencegah terulangnya kasus stunting yang disebabkan oleh gizi buruk akibat ketidaktahuan ibu mengenai nutrisi yang harus dikonsumsinya selama hamil.
baca juga Optimis Cegah dan Atasi Stunting
Faktor lain disebabkan infeksi pada ibu akibat ketidaktahuan tentang penyakit menular dan tidak menular. Faktor ketiga adalah buruknya sanitasi akibat minimnya pemahaman perilaku dan kesehatan lingkungan.
Perempuan sebagai ibu tidak bisa berjalan sendirian menjaga kesehatan diri dan janinnya selama hamil. Harus ada dukungan penuh dari suami agar terpenuhi kebutuhan nutrisi dan psikologisnya demi masa depan anak yang bebas dari stunting.
baca juga Optimis Cegah dan Atasi Stunting
Faktor lain disebabkan infeksi pada ibu akibat ketidaktahuan tentang penyakit menular dan tidak menular. Faktor ketiga adalah buruknya sanitasi akibat minimnya pemahaman perilaku dan kesehatan lingkungan.
Perempuan sebagai ibu tidak bisa berjalan sendirian menjaga kesehatan diri dan janinnya selama hamil. Harus ada dukungan penuh dari suami agar terpenuhi kebutuhan nutrisi dan psikologisnya demi masa depan anak yang bebas dari stunting.
Selalu ada foto bersama di akhir acara |
seru acaranya ya teh, udah gitu ada dokter cantik hihihi
ReplyDeleteBenar, sudah bukan jamannya anak cuma urusan istri. Pasutri harus bekerjasama. Makasih infonya.
ReplyDeleteMaterinya bermanfaat banget ini mbak. Sepertinya Kemenkes emang sedang fokus dengan pencegahan stunting yaa..
ReplyDeletestunting enggak disadari banyak orang, bahkan kelas menengah banyak jd pasien loh
ReplyDeleteYang namanya rumah tangga, lelaki harus ikut berpwran di dalmnya. Tidak hanya untuk cari nafkah, namun juga bantu perkerjaan istri. Ini baru adil. Biar anak juga gak strunting karena terawat oleh orang tuanya
ReplyDeleteTema yang dibawakan sangat menarik. Masalah stunting ini penting banget untuk semua orang pahami.
ReplyDeleteKarena ternyata memiliki pendidikan ataupun usia cukup juga nggak menjamin anaknya tidak stunting :)
Apalagi sempet liat video yang anggota pemerintahan aja nggak tahu stunting 😅
Keinget zaman dulu kalau perempuan/ ibu makannya selalu terakhir setelah suami dan anak2nya makan, pdhl jg pas lg hamil, akibatnya makan sisa2 makanan yg ada hehe. Kalau skrng edukasi ttg kesetaraan gender lbh baik, jd perempuan udah bisa sejajar dgn laki2. Laki2 pun ikut berperan support istri dlm pemenuhan gizi bumil dan anak2 mereka.
ReplyDeletePeran ibu sebagai madrasah anak justru sangat membutuhkan banyak ilmu serta wawasan untuk kembali diajarkan kepada anak dan keluarga ya.
ReplyDeletetetanggaku bapak gemuk ibunya gemuk, tp knp anaknya kurus? haha...ternyata stunting bisa terjadi pada anak manapun...peran ibu diperlukan sekali untuk membantu tumbuh kembang anak.
ReplyDeleteiyaa aku kira dulu badan itu pengaruh dari keturunan aja mbaj ternyata nggak ya. gizi terutama yang mempengaruhi. aku dulu pendek mbak smoga naufal besok nggak ya biar tinggi aja. bagus ini mbak infonya.. smiga di posyandu ada juga yaa
ReplyDeleteKuy-lah cegah stunting, dan enyahkan rasa diskriminasi terhadap perempuan, agar perempuan dapat tenang selaku ibu untuk anak-anaknya
ReplyDeleteDibutuhkan pendidikan yang terus menerus tentang kesetaraan gender ya Mbak. Ketika perempuan memutuskan punya otoritas atas tubuhnya sendiri, ia juga tak boleh konflik dengan lingkungan...
ReplyDeleteSuporting system memang penting banget. Ibu perlu didukung. Ibu yang bahagia, juga akan membuat anak jadi bahagia dan sehat
ReplyDeleteSuka dengan acara seperti ini, ilmunya sangat bermanfaat ya mba. KPendidikan tentang kesetraan gender ini sangat dibutuhkan sekali ya mba.
ReplyDeletepola patriaki yang anggap laki2 atau suami raja emang masih lekat teh, terlebih dalam pola pengasuhan seakan semuanya salah ibu ketika terjadi sesuatu pada anak padahal peran ayah juga turut andil..seru ya teh acaranya jadi pengen hadir kalau ada kesempatan
ReplyDeleteStunting permasalahan yg nggak bisa dianggap remeh ya Mba. Butuh dukungan dari semua pihak untuk memerangi stunting ini, supaya Indonesia kedepannya bisa bebas dari masalah stunting.
ReplyDeletePeran ayah memang sngat fundamentalis ya.. Ditambh dengan sentuhan ibu shg stunting bukanlah sebuah kendala untuk mengatasinya ya..
ReplyDeleteiyes, kontribusi yg sama antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan indonesia sehat bebas stunting :)
ReplyDeletePencegahan stunting memang sudah dimulai sejak bayi berada dalam janin ibu. Tapi bukan berarti masalah stunting sepenuhnya dikarenakan kondisi ibu, bagaimanapun juga yang namanya ayah juga berperanlah. Entah itu dari segi perhatian atau menjaga kecukupan nutrisi dan kesehatan psikologis ibu. Senang sekali hal-hal seperti ini sudah mulai menjadi perhatian. Karena bagaimanapun juga kualitas generasi bangsa ini ditentukan oleh orangtua yang terdiri dari ayah dan ibu. Sepaket nggak bisa satu-satu.
ReplyDeleteTema yang menarik....mulai dari patriarki sampai ke pernikahan dini hingga ke stunting.
ReplyDeleteDuh..masih banyak memang di sekitar kita.
Semoga program dari Kemenkes makin mengurangi jumlahnya tentu dengan dukungan dan peran serta kita semua
Duh baca ini jadi nyesel kalau inget anak pertamaku. Dia itu dulunya sama sekali ga mau susu kecuali ASi
ReplyDelete.jd kecil...paling pendek diantara adik2nya..heu..
Aku kurang setuju dengan namanya "kesetaraan gender". Aku pernah baca buku felix siauw yang wanita berkarir surga. Dan aku dapat ilmunya sedikit pemahaman feminisme yang muncul dari orang-orang barat.
ReplyDeleteAku setuju dengan suami harus membantu istri untuk menjaga pada saat hamil.
Ternyata ad kaitannya ya kesetaraan gender dg fenomena stunting ya mba. Anw stuntung ini jd momok bgt buat para ibu khususnya ibu baru macam aku, huhu.
ReplyDeleteThanks sharenya mbak, ilmu dari acara ini sangat bermanfaat, akupun setuju pentingnya kesetaraan gender dilakukan.
ReplyDeletebener kak.. ini kece emang tentang gender bahasannya
ReplyDeleteeh iya lho stunting itu jadi isu nasional. Semoga masyarakat makin aware dan bisa mengurangi stunting di Indonesia
ReplyDeleteAku miris melihat msh ada perempuan yg diperlakukan tdk adil. Semoga pemikiran masyarakat kita bisa lbh maju ya biar ada kesetaraan gender utk perempuan secara penuh
ReplyDelete