Renungan Kematian

Hari Minggu kemarin, saya dan keluarga menjenguk tetangga sebelah yang dirawat di Rumah Sakit Kebon Jati, Bandung. Karena terbiasa memanggil `Mbah`, setibanya di rumah sakit, mulanya saya bingung juga nama beliau saat bertanya pada satpam lokasi ruangan Bougenville tempat beliau dirawat. Setelah menelepon Ibu RT, akhirnya saya tahu nama beliau, `Ibu Supiah`. Duh, hampir dua tahun kami bertetangga, saya takpernah mengetahui nama beliau. Betapa saya tetangga yang payah karena terlalu sibuk bekerja.
Ruang Bougenville terletak di lantai 2 gedung ini. Saya baru dua kali menjenguk relasi di rumah sakit ini. Kali pertama kalau tidk aslah semasa SMP, waktu itu, saya bersama teman-teman sekelas menjenguk wali kelas kami. Bangunan rumah sakit ini kusam, terkesan tidak terawat. Kesan lain yang tertangkap adalah bagnunan ini seperti sedang direnovasi.  Semoga kesan kedua yang benar. Entah karena bangunan tua entah karena kusamnya, jika kelak terpaksa harus dirawat di rumah sakit, semoga dirawat di rumah sakit yang nyaman dan terawat baik.

Ruangan tempat Mbah Supiah dirawat ada di ujung lorong. Syukurlah lorong ini terbuka sehingga udara segar terhirup leluasa. Kamar 239 tertulis di bagian atas kusen pintu masuk. Ada empat tempat tidur di ruangan tersebut. Masing-masing tempat tidur dipisahkan tirai berwarna coklat. Saya mengecek empat tidur itu. Melihat pasien yang terbaring di atasnya. Adakah Mbah Supiah di sana? Ternyata Mbah Supiah ada di tempat tidur pertama dekat pintu masuk. Tubuhnya sangat kurus. Erangan kesakitan takhenti terdengar dari mulutya. Tangannya yang diinfus takbisa diam. Aroma taksedap menguar dari ruang tempat tidurnya. Beliau tidak menyadari kedatangan kami.
Ibu mertua mengajak saya keluar ruangan. Saya pun mengajak anak saya, Lintang, keluar. Sementara itu, ibu saya masih ada di dekat Mbah Supiah. menyentuh tangannya, meluruskan tangan berinfus itu agar takbanyak bergerak. Takada siapa pun di dekat Mbah Supiah. Namun, saya melihat ada seorang wanita dan dua orang pria paruh baya di luar ruangan. Saya masuk lagi ingin melihat keadaan Mbah Supiah saat perempuan paruh baya bermasker itu masuk juga ke ruangan Mbah Supiah. Ia ternyata adiknya. Ibu saya berbincang cukup lama dengannya, sedangkan saya memutuskan kembali ke luar karena taktahan dengan aroma taksedap yang menguar memenuhi ruang tempat tidur itu.

Selang beberapa menit, kami berpamitan diiringi doa semoga Tuhan memberikan yang terbaik untuk Mbah Supiah dan keluarga yang merawatnya. Kondisi Mbah Supiah masih terbayang-bayang di benak saya bahkan setelah kami tiba di rumah sore harinya. Erangan kesakitan beliau, tubuhnya yang tinggal tulang dibalut kulit, dan aroma tidak sedap yang menguar dari kamarnya. Ibu saya bilang, beliau menderita kanker kelenjar getah bening stadium IV. Kanker kelenjar getah bening disebut juga limfoma. Seperti semua kanker, itu adalah pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel di sekitar kelenjar getah bening. Kanker ini berkaitan dengan sistem limfatik pada tubuh kita. Sistem limfatik pada tubuh kita berfungsi sebagai penjaga kekebalan tubuh. Jika limfatik tidak bisa bekerja maksimal,daya tahan tubuh akan melemah. 
Sebenarnya kondisi demikian dialami oleh semua penderita kanker apa pun. Intinya jika tubuh kita tidak mendapat asupan salah satu unsur yang dibutuhkan, daya tahan tubuh akan melemah. Saya hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga Tuhan memberikan yang terbaik. Menjelang Maghrib, Ibu RT yang tinggal berseberangan dengan saya membawa kabar duka. Mbah Supiah meninggal dunia pukul 17.00 tadi. Saya yang sudah bersiap hendak solat Maghrib segera ke halaman. Ibu RT dan ibu saya sedang membahas kabar itu. Meskipun jarang berinteraksi dengan Mbah Supiah, saya merasa sedih. Tetangga yang ramah dan baik hati. Beliau tempat saya bertanya saat saya baru pindah ke rumah ini. Beliau juga kadang ikut mengawasi putri saya saat saya bekerja. Warung kecilnya membantu orang-orang sekitar memenuhi keperluan mendadak. Yah, seperti kata peribahasa, " Orang baik selalu mati muda."

Saya menjadi teringat paman saya, adik ibu, yang meninggal dua bulan lalu. Beliau meninggal karena kanker hati. Penyakit yang sama dengan ayah saya 23 tahun silam. Orang-orang baik yang dirasa sangat cepat pergi. Saat-saat mereka sakit masih teringat di benak saya. Tubuh yang sangat kurus, rasa sakit yang tak tertahankan, dan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk pengobatan. Masa-masa sulit itu mengingatkan saya pada bayangan seperti apa kondisi saya saat dijemput malaikat maut kelak? Apakah saya akan merintih kesakitan dalam waktu yang panjang? Apakah tubuh saya yang sudah kurus ini akan semakin kurus dan tampak memprihatinkan? Apakah asuransi saya cukup untuk membiayai semua pengobatan? Apakah saya bisa tetap sabar dan optimis menyikapi sakit saya? Wallahualam..Hanya Tuhan yang tahu seperti apa saya jika waktu itu tiba.

Kadangkala saya mengkhawatirkan itu. Hal yang paling saya khawatirkan adalah saat saya takbisa mengendalikan diri. Saat saya begitu sedihnya, saat saya begitu sakitnya, dan saat saya begitu marahnya. Marah dan sedih pernah saya alami dahulu dan saya bisa mengatasi masa itu tanpa harus meledak-ledak; tanpa harus mempermalukan diri sendiri. Tinggal masa sakit. Rasanya saat sakit flu pun, itu terasa begitu tidak nyaman. Saat maag saya kumat, saya begitu terganggunya dan kadangkala bingung apa yang harus saya lakukan. Bagaimana jika saya ditakdirkan menghadap-Nya dalam kondisi sakit parah? Semoga saya bisa tetap bisa mengendalikan diri sesakit apa pun. Semoga saya tetap bisa optimis seterpuruk apa pun. Harapan adalah bekal paling penting dalam hati manusia. Semoga jalan kembali itu diberi kelapangan. Saya belum tahu caranya, tapi saya akan terus belajar dan mencari tahu...

No comments