Gathering Netizen MPR, Ketua MPR Serukan Persatuan Bangsa




Gathering Netizen MPR RI Desember ini berbeda dengan Gathering  Netizen  MPR RI Mei lalu. Apa saja perbedaannya? Pertama, acara berlangsung lebih singkat. Acara dimulai pukul 14.00 dan berakhir secara formal sekira pukul 17.00. Di bulan Mei lalu, acaranya berlangsung seharian, sejak pukul 09.00 hingga pukul 15.00. Kedua, ini yang paling menarik. Acara tidak dibuka dengan pemaparan lebih dahulu dari Ketua MPR sebagai pembicara tunggal. Pak Ketua, begitu Zulkifli Hasan meminta Blogger BDG memanggil dirinya, membuka acara dengan memberi kesempatan pada Blogger BDG untuk menyampaikan uneg-uneg mereka  tentang apa saja. 


foto: parmadi
Kesempatan emas ini tentu saja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh saya dan teman-teman dari Blogger BDG. Berbagai pertanyaan dan pernyataan disampaikan kepada Pak Ketua. Mulai dari keluhan tentang langkanya tabung gas 3 kg, persoalan sampah, curhat politik perkawanan, harapan adanya undang-undang yang jelas tentang perbukuan dan kesejahteraan penulis, masalah korupsi, SARA, dan lain sebagainya. Diskusi gayeng pun terbangun. Respons Pak Ketua terhadap antusiasme netizen pun menyenangkan. Serius, tapi santai.


Dalam setiap jawabannya, Zulkifli Hasan menekankan pentingnya kesadaran. "Kesadaran itu penting," tegas Zulkifli Hasan. Seharusnya setiap orang mempunyai kesadaran dalam menjalani perannya sebagai warga negara. Dengan kesadaran itu, setiap warga negara Indonesia pasti bisa memahami dalamnya makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa. 


Roadshow gathering Netizen di beberapa kota di Indonesia merupakan salah satu upaya
suasana saat gathering (foto : dedew)
MPR untuk memasyarakatkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Acara ngobrol bareng MPR ini penting untuk mengajak netizen berkontribusi dalam upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan Indonesia. Wih, segenting itukah kondisi negara kita?


Genting atau belum seharusnya tidak dijadikan parameter untuk membangun kesadaran kolektif rakyat Indonesia menjaga keutuhan bangsa. Kita bisa becermin pada Pilpres 2014 silam atau Pilkada Gubernur DKI yang menggoncangkan sosmed akibat perseteruan dua kubu. Perseteruan itu sayangnya takselesai saat pilpres dan pilkada usai. Perseteruan masih berlanjut hingga hari ini meskipun tidak sepanas dulu. Perseteruan itu serupa api dalam sekam; serupa bom waktu. Bisa meledak kapan pun jika kita sebagai rakyat abai terhadap kesadaran kolektif bahwa negeri ini dibangun dari keragaman latar belakang sosial geografis.

Baca : Mari Menjaga Indonesia

Kesadaran itu pula yang seharusnya menjadi panglima bagi pola pikir dan perilaku setiap manusia Indonesia. Mengapa demikian? Saya teringat cerita Pak Jokowi tentang pesan dari Presiden Afghanistan yang dimuat di harian Kompas. "Hati-hati negaramu, hati-hati negaramu. Di Afghanistan hanya ada 7 suku, negaramu memiliki 714 suku. Kurang lebih 30 tahun lalu, dua suku bersengketa. Karena tidak ditangani dengan benar, hingga hari ini sengketa itu berubah menjadi peperangan yang sulit didamaikan." (Kompas, Oktober 2017)

Jika tidak ada yang menjaga kesadaran kolektif betapa beragamnya Indonesia, tidak mustahil nasib Indonesia akan sama seperti Afghanistan. Saya ngeri membayangkannya. Perang merenggut segalanya. Kita bisa berkaca pada negara-negara di Timur Tengah; di Afrika. Tak ada yang tersisa kecuali kenangan buruk.  Karena itu, penting bagi rakyat Indonesia merawat negara bersama-sama. Perbedaan suku, agama, dan status sosial bukan halangan untuk tetap satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Blogger bisa menjadi cyber army
Di titik ini, di manakah peran MPR? MPR sebagai lembaga tinggi negara bertugas memasyarakatkan Pancasila, UUD NRI tahun 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR. Berdasarkan tugas itulah, roadshow gathering netizen diselenggarakan. " Visi utama MPR adalah menjadi rumah kebangsaan agar merah putih tidak terkoyak," jelas Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan  menutup acara ngobrol santai sore itu.

No comments