Adalah Amilia gadis yang mendapat julukan Ratu Sampah dari teman-temannya. Julukan itu bukan ejekan, melainkan kekaguman terhadap kegigihannya mengelola sampah. Gadis kelahiran Bandung 27 tahun lalu ini mulai menggeluti sampah sejak ia duduk di bangku SMP.
Mulanya ia merasa trenyuh melihat seorang bapak sedang makan tanpa mencuci tangan lebih dulu. Bapak itu duduk di samping gerobak penuh sampah dekat kompleks sekolahnya. Gadis berusia 14 tahun ini khawatir sampah di gerobak tersebut berasal dari sekolahnya.
“Kalau bapak itu sakit,kita bisa kena dosanya karena menjadi penyebab,” batin Ami.
Untuk meredakan kekhawatirannya, Ami curhat kepada guru Biologi sekaligus pembimbingnya di kegiatan ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Ami meminta saran Ibu Nia mengenai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah sampah itu.
Ibu Nia menyarankan Ami dan para pegiat ekstrakurikuler KIR untuk mendatangii Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB). Yayasan ini bergerak di bidang pengomposan dan pemilahan sampah.
Setelah mengenal mekanisme pemilahan sampah, Ami dan teman-temannya di sekolah mulai rutin belajar di YPBB. Pengalaman mereka selama belajar di YPBB secara tidak langsung menjadi pembuka langkah kampanye zerowaste.
Berawal dari Tempat Sampah Kardus
Pada tahun 2009, kampanye zerowaste atau upaya meminimalisasi produksi sampah belum populer di kalangan anak muda. Jadi, bisa dikatakan aktivitas Ami dan teman-teman ekskulnya memilah sampah lalu membuat tempat sampah organik dan anorganik merupakan inovasi di masa itu.
“Kami membuat tempat-tempat sampah dari kardus pada tahun 2008. Tempat sampah tersebut kami taruh di setiap kelas. Masing-masing kardus ditempeli tulisan sampah organik atau sampah anorganik.”
Penggunaan kardus sebagai tempat sampah mengundang kritik dari berbagai pihak, baik guru maupun teman-temannya. Agar tampil lebih estetis, tim pun membungkun kardus dengan aneka kerdas kado supaya tampak menarik.
Long short story, Ami berupaya mencari cara agar kampanye memilah sampah bisa diterima dan dilakukan serempak di sekolahnya. Saat Masa Orientasi Sekolah (MOS) SMP 11 Bandung, Ami mengampanyekan gerakan memilah sampah kepada siswa-siswa kelas X.
Kampanye Zerowaste akhirnya bisa menjadi subdivisi ekskul KIR di sekolahnya. Seiring waktu berjalan, kegiatannya tidak hanya memilah sampah, tetapi juga menyulap sampah menjadi barang bermanfaat. Ami memprakarsai pembuatan tas dari bungkus kopi yang dilakukan ibu dari salah satu teman sekolahnya.
Pekerjaan menjahit bungkus kopi menjadi tas membutuhkan tenaga kerja lebih dari satu orang. Untuk itu, Ami dan teman-temannya mengajak ibu-ibu lain berpartisipasi membuat tas dari bungkus kopi. Tas-tas hasil kerajinan tangan ini kemudian diperkenalkan sebagai produk-produk daur ulang pada acara-acara sekolah.
Kegigihan Amilia dan teman-temannya memilah sampah lalu menyulapnya menjadi produk bermanfaat membuat Ibu Nia tergerak mendaftarkan anak-anak didiknya dalam kompetisi SATU Indonesia Awards Tahun 2010 di bidang lingkungan.
Setelah melalui proses seleksi yang panjang, Ami akhirnya berhasil menjadi penerima Astra Satu Indonesia Award di bidang lingkungan. Ia pun mencatatkan diri sebagai peraih termuda penghargaan tersebut.
Inovasi Amilia Pasca Menerima Astra Satu Indonesia Award
Langkah pertama yang dilakukan Ami pasca menerima hadiah dari Astra Satu Indonesia Award adalah membeli mesin jahit untuk para ibu agar lebih mudah bekerja mendaur ulang sampah, salah satunya menjahit tas dari bungkus kopi.
Ami meninggalkan SMP 11 Bandung sebagai Sekolah Bebas Sampah yang ia rintis bersama teman-temannya. Sekolah tersebut hingga hari ini masih terus aktif melakukan pemilahan sampah lalu mengelolanya menjadi produk yang bisa digunakan kembali.
Selepas SMP, Ami melanjutkan pendidikan ke SMA 11 Bandung. Ide-ide kreatifnya makin mengalir. Ia mendirikan Komunitas Bandung Bercerita. Kegiatan di komunitas ini mendidik anak-anak yang biasa bermukim di dekat rel kereta api di Kota Bandung.
Aktivitas di Komunitas Bandung Bercerita berhasil membuat modul “101 Creative Teaching”. Isi modul itu tentang tips mengajak anak agar semangat belajar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menduplikasi modul ini untuk digunakan saat mendampingi anak-anak penyintas korban bencana.
Kepeduliannya pada masalah lingkungan hidup terus berlanjut saat melanjutkan pendidikan di Universitas Udayana, Bali. Sebenarnya Ami ingin berkuliah di Jayapura agar bisa mengajar anak-anak Papua. Namun, sang ibu berkeberatan. Pucuk dicinta, Ami lulus di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Bali.
Di kampusnya, Ami terus bergelut dengan bank sampah. Bersama Astra, ia memberdayakan desa-desa di Bali untuk mengelola sampah. Peraih predikat cumlaude ketika lulus tahun 2018 ini juga aktif mengurusi sampah di laut dan membuat kebun untuk anak kost agar hasil kebunnya bisa menghemat pengeluaran makan sehari-hari.
Kini Ami sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional bonafide. Gadis berzodiak Aries ini masih terus mengampanyekan masalah lingkungan. Ia tetap mendedikasikan dirinya pada pengelolaan sampah demi kesejahteraan masyarakat.
No comments