Akhirnya, setelah bertahun-tahun menimbang-nimbang punya domain sendiri, awal bulan ini saya berhasil memaksa diri saya membeli domain. Jadilah www.siswiyantisugi.com sebagai nama blog baru saya.

Mulanya saya mengira begitu selesai mengelola domain sesuai petunjuk dari www.idwebhost.com, blog saya benar-benar baru: bersih dan kosong.  Ternyata tidak demikian. Karena mengelola domainnya dari blogspot, tulisan-tulisan jadul saya di blogspot ini tetap ada di siswiyantisugi.com.

Takhanya itu, nama pengarangnya pun, bukan siswiyantisugi, melainkan tetap lingkaran pelangi dengan judul blog tetap curhatgurubimbel. Hiks...ini ada tiga nama dalam satu blog. Tiga nama yang membuat saya segan mengisi blog.

Saya pun berusaha mencari tahu bagaimana mengganti judul dan pengarang blog. Setelah tanya sana-sini, ujung-ujungnya disarankan googling. Itu jawaban yang dianggap paling solutif dan ga bikin manja.hahaha...

Menulis agar Abadi

Ada tiga hal yang membuat manusia abadi: 
  1. Mempunyai keturunan
  2. Menanam pohon
  3. Menulis
(Anonim)
Bagi saya, agar jiwa dan pikiran saya tetap sehat, saya perlu menulis. Kegiatan ini sudah saya lakukan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saya masih ingat waktu kelas 5 SD, saya membuat buletin bergambar sampul Garfield. Dibuat di kertas buku yang saya robek bagian tengahnya. Saya lupa apa isi buletinnya. Kalau tidak salah isinya cerita tentang keseharian anak - anak SD pada umumnya. Sederhana sekali. Waktu itu buletinnya saya jual seharga Rp50,00. Ada beberapa teman yang membelinya. Setiap lihat Garfield, saya pasti ingat buletin dua lembar itu. "Kok dulu bisa ya bikin kayak gitu?" perasaan narsis saya mengagumi diri sendiri. hehehe...
Semasa SMP dan SMA, kegiatan menulis saya belum banyak kemajuan. Masih seputar buku harian dan surat menyurat dengan beberapa teman di kota lain. Mereka sahabat pena yang dipertemukan lewat surat pembaca yang saya kirimkan di Majalah Gadis. Lulus SMA, saya membulatkan tekad menjadi jurnalis. Sayangnya, orangtua tidak mendukung cita - cita itu. Agar bisa tetap menjadi jurnalis, saya memilih pers mahasiswa sebagai tempat berekspres

Janji LIterasi

  Banyak yang terjadi setahun belakangan ini. Pastinya sih begitu ya? ada 365 hari dan setiap jam atau harinya tidak akan sama. Yang sama mungkin temanya, tetapi isinya dari waktu ke waktu, dari hari ke hari tentu berbeda. Sebenarnya setiap ada hal menarik yang saya alami, ingin saya tulis sini. Namun sayang, keinginan tidak berbanding lurus dengan kesempatan menuliskannya. Penyakit klasik selalu muncul setiap duduk di depan laptop : mau nulis apa ya? yang kemarin sudah lupa detailnya. 

  Kebetulan malam ini saya masih berkutat dengan naskah soal yang harus segera saya selesaikan karena sudah tertunda kurang lebih tiga minggu lamanya. Masalah klasik yang muncul itu tidak pandang bulu rupanya. Writer’s block, sebutan untuk masalah klasik ini, terasa tidak hanya saat akan menulis feature atau fiksi, tetapi juga saat saya akan atau sedang menyusun naskal soal. ia mampir dan menghambat pekerjaan. Seringnya saya menyerah pada kondisi itu. Menutup jendela lalu mengalihkan perhatian pada hal lain, misalnya menonton film, berselancar di internet, atau menghabiskan waktu ngobrol bersama teman – teman kuliah di grup Whatsapp. Setelah itu, saya tidak kembali pada naskah, tetapi menutup laptop. Pekerjaan pun tertunda lagi berhari -hari bahkan bisa berbulan – bulan seperti naskah buku tes masuk Akpol dan Akmil yang sedang saya susun. 

 Belajar dari pengalaman tersebut, saya pikir saat writer’s block menyerang, sebaiknya saya tidak mengalihkan perhatian terlalu lama atau terlalu jauh. Saya tetap harus di depan laptop. Pengalihan perhatian harus tetap di seputar upaya mencari inspirasi untuk naskah yang sedang disusun. Maka, ini yang saya lakukan : menjenguk blog yang sudah hampir setahun tidak diperhatikan lalu mencoba menulis sesuatu. Sesuatu itu bisa tentang apa saja. Kali ini saya ingin bercerita tentang kegiatan menulis. Awal tahun 2016 lalu, saya memutuskan tidak membuat resolusi macam -macam. Resolusi saya hanya satu : fokus menulis. Di bulan kedua tahun ini, saya berusaha keras merealisasikan resolusi saya. Saya mulai dengan konsisten mengikuti komunitas menulis di Facebook. Ada beberapa komunitas yang saya ikuti, tapi hanya satu komunitas yang saya seriusi, yakni Merah Jambu Gabungan (MJG). Pertimbangannya karena di komunitas ini semua orang pun konsisten mengirimkan tulisannya dan kami saling memberi kritik dan saran. Bagi saya, kritik saran mereka sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan menulis saya, terutama di tulisan fiksi. 

Konsisten mengirimkan tulisan berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan admin grup merupakan salah satu janji literasi yang saya buat. Janji lainnya adalah rutin membaca satu buku setiap minggu. Janji selanjutnya setelah membaca adalah menulis resensinya. Jika buku yang saya baca masih baru, saya akan mengirimkan resensinya ke media massa. Namun jika itu buku lama, cukup saya tulis resensinya di blog. 

 Ada beberapa naskah nonfiksi yang juga ingin saya tulis. Salah satunya tentang spiritualitas N.H. DIni. Ide itu sempat meledak -ledak di pertengahan tahun 2015. Saya bahkan sempat mengontak seorang penulis yang dekat dengan N.H. Dini agar bisa dihubungkan dengan beliau. Minimal lewat surel. Namun, saya tidak bisa membujuknya agar ia mau menghubungkan beliau dengan saya. Alasannya jika tulisan saya tentang N.H. Dini akan dikirim ke media atau dijadikan buku, saya harus membayar waktu dan informasi yang saya peroleh dari beliau dengan sejumlah uang. Yah, karena asumsinya saya akan menerima kompensasi materi dari tulisan saya -jika tulisan saya dimuat- dan proses yang dialami N.H. Dini dalam berkarya selama puluhan tahun pun tidak gratis. 

 Akhirnya saya memilih menulis berdasarkan referensi yang saya miliki dan saya temukan ketimbang harus mewawancarai beliau dengan persyaratan itu. Bukannya pelit sih, tapi saya pikir bertemu beliau dan bertanya tentang beberapa hal yang sering lalu lalang di benak saya selama beberapa tahun terakhir ini bukan hal yang penting mendesak. Mungkin saya akan kembali menyeriusi ide ini setelah beberapa pekerjaan menulis yang penting mendesak selesai. 

 Janji literasi terakhir adalah menjadi blogger. Saya memang belum banyak tahu tips dan trik agar blog saya dibaca banyak orang. Saat ini yang ingin saya coba adalah mengikuti lomba – lomba blog. Dengan ikut lomba, tulisan di blog kita pasti dibaca juri. Minimal ada alamat blog kita dalam link tulisan yang mengikuti lomba. Sementara ini, itu dulu. Semoga bisa konsisten. Harapan yang sama di setiap resolusi dari tahun ke tahun : semoga bisa konsisten. 

 Kali ini, harapan itu saya tulis dan tanamkan dalam hati. Semoga saya bisa menepati janji ^_^

Lintang Hati

Seminggu ini Lintang dimarahi terus. Adaa saja tingkah lakunya yang sangat menjengkelkan. Semuanya adalah kebiasaan yang melekat : susah makan dan cengeng. Dua hal yang membuatku selalu kehabisan kesabaran. Padahal kesabaran tak berbatas, tak boleh habis, dan harus selalu diusahakan. Setelah anger management yang gagal minggu lalu ( baca : banting barang), minggu ini kutahan sekuat tenaga agar tak membanting apa pun saat kesabaranku menipis menghadapi perilaku Lintang.

 Di titik ini, aku bener-bener ga tau harus ngapain. Perilaku anak adalah cermin hasil didikan orangtua. Tanggung jawabku 100% terhadap perkembangan psikologis Lintang. Akan bagaimana dan menjadi apa ia kelak, semua bermula dari hari ini. Masih ada setahun untuk memapanka n hal – hal baik dalam dirinya.

Namun, makin hari makin aku tak tahu harus bagaimana? Membiarkan saja atau memaklumi karena dia anak – anak? Apakah harus kudiamkan kalau Lintang makan ga teratur dan ga jelas kualitas gizinya? Apakah harus kumaklumi kalau dia tak mau solat? Apakah harus kudiamkan kalau dia malas TST di GO padahal nilai matematikanya sangat ironis sementara aku pun kurang pandai matematika sehingga tak bisa membantunya? Apakah aku harus membiarkan Lintang malas mandi padahal bau badannya sangat mengganggu? Apakah harus kubiarkan ia tak mau solat dengan harapan kelak ia akan solat sendiri? Apakah hal – hal kecil yang buruk itu harus kubiarkan dengan harapan kelak ia akan tahu sendiri? Apakah itu bijaksana?

 Apa yang harus kulakukan? Bagaimana menyikapi pembangkangan anak hampir gede seperti lintang? Bagaimana menjaga stok kesabaran? Aku tak menuntutnya menjadi anak berprestasi secara akademis atau menjadi juara ini itu. Aku takkan menuntutnya. Yang kuharapkan Lintang mau berusaha, mau tertib, dan tidak moody saat tertib. Itu saja : mau berusaha. Sayangnya, Lintang tidak punya semua itu. Ia malas, cengeng, dan seenaknya sendiri. Ditambah manja.

 Allah, tidak adakah hal baik yang melekat pada karakter anakku? Setiap mempertanyakan itu, seringkali kuhibur hatiku kalau Lintang berhati tulus dan mudah trenyuh melihat kesulitan orang lain. Itu saja. Itu modal kecerdasan sosial, tapi selama ia masih sekolah, ia harus tertib dengan semua aturan. Kalaupun akademis tidak berprestasi, seandainya kegiatan di luar sekolah ada hasilnya. Atau minimal ia rajin mengaji dan solat.

Sayangnya, tak kutemukan itu padanya. Apakah karena aku sering memaksanya, potensi berbohong semakin besar? Aku tak tahu. Aku memaksa karena ia sudah keterlaluan seenaknya. Sudah terlalu banyak yang tidak mau dilakukannya padahal itu penting dilakukan. Sungguh, aku bingung di titik ini.

Apa yang harus kulakukan? Ancamanku mengirimnya tinggal sama ayahnya ekspresi ketidakberdayaanku sebenarnya. Tapi itu tentu bukan solusi. Solusinya ada padaku. Pasti ada jalan keluar meski belum jelas apa. Kumulai dari diriku sendiri. Tertib dariku sndiri. Tidur tidak larut malam dan bangun saat subuh lalu beraktivitas.

Semoga menjadi teladan untuk Lintang. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya, tampaknya mental semua. Kupilih tertib dalam diam. Hatiku jengkel luar biasa kepadanya. Sangat marah sebenarnya. Tapi, marah pun tak ada gunanya. Diam apakah membuat anakku paham?? Wallahualam.

Aku enggan kepadanya. Semoga enggan ini tidak menetap. Semoga berangsur hilang, semoga pemaafaan ini segera datang. Ia manusia buka robot. Ia punya kemauan dan kemampuan sendiri. Itu sudah kumengerti.

Namun, apakah salah memintanya mengaji, makan teratur sesuai takaran, dan belajar rajin agar ia bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Itu saja yang kuinginkan. Takperlu menjadi juara. Yang penting kamu berusaha dan bekerja keras, Nak. Itu saja yang ibu inginkan. Sayangnya, ibu tak melihat itu padamu hingga usiamu 11 tahun. Atau ibu harus menunggu lebih lama lagi? Sepuluh atau dua puluh tahun lagi?

 Semoga Allah senantiasa memberiku kesabaran . . . Astaghfirullahal’adziim . . .

Sesaknya Oktober

Jadi gini, ketidaknyamanan mulai terasa ketika gaji dua orang teman ditahan bagian keuangan. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, tak ada juga kepastian kapan gajinya akan dibayarkan. Setelah dihubungi terus, akhirnya keuangan mentransfer gaji pengajar bersangkutan. 
Pasca penahanan gaji, terbitlah peraturan yang –katanya- lama diberlakukan lagi, yakni tentang pemenuhan dua belas jam mengajar. Peraturan yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan akademik dan para pengajar itu dipublikasikan lewat selebaran. Inti isinya : setiap pengajar harus memenuhi kuota mengajar 4x setiap hari. 2 kali mengajar dan 2 kali konsulitasi siswa. 

Mulanya, pemenuhan kuota mengajar itu bukan masalah meskipun peristiwa penahanan gaji dan ketidakjelasan waktu pembayarannya menjadi catatan penting bagi saya. Beberapa hari setelah selebaran itu dibagikan, Kanit memanggil saya sebagai wali kelas X dan XI IPA. Dia menjelaskan tugas tambahan yang harus saya kerjakan, yaitu berbagi entry data tentang anak – anak perwalian saya. Kanit juga bilang apa pun penugasan yang saya kerjakan, saya harus memberi tahu dia supaya semua pekerjaan saya di luar jam mengajar itu di-acc dia. Kalau tidak lapor, saya dianggap tidak melakukan apa pun selain mengajar. 

Saya makin tidak nyaman. Tentara aja ga perlu setiap detail dilaporkan. Sementara itu, saya melihat teman yang gajinya pernah ditahan menjadi sangat reaktif. Karena dia merasa masih butuh pekerjaan itu dan kuatir gajinya ditahan lagi, ia menawarkan diri mengerjakan tugas –tugas akademik jadwal dan kesiswaan. Duh please deh, mereka kan dibayar untuk itu. Pokoknya dia berusaha keras tampak sibuk. 

Saya makin eneg liat situasi seperti itu. Masalah muncul lagi di minggu kemarin. Saya izin masuk kantor pas mau mengajar karena sakit. Niat awal sih meringankan akademik supaya ga perlu repot mencari pengganti saya. Saya izin jam 10:45 dan akademik mengizinkan. Jam 12.10, akademik kirim pesan di Whatsapp supaya saya izin juga sama kanit. Jawaban kanit sangat mengecewakan, “Saya tidak bisa mengiyakan karena kalau pengajar izin beberapa jam itu sudah dianggap tidak masuk sehari.” Ya sudah, daripada saya capek – capek datang dan mengajar 2x tapi tidak dihitung, saya izin tidak masuk dan surat dokter menyusul. Kanit tetap tidak mengizinkan karena saat itu sudah pukul 14.00, akademik bisa kesulitan mencari pengganti. Saya jawab kalau saya sudah izin sejak pukul 10:45. Kanit diam, ga merespons. Saya cuek aja, tapi itu makin menyebalkan. 

Sistem yang payah. Besoknya, saya ketemu pengajar bahasa Indonesia unit lain di acara pembahasan di salah satu sekolah kejuruan di kota kami. Dia cerita kalo pimpinannya ( kanit) malah secara implisit bilang kalau ada saudara meninggal ga perlu datang. Utamakan perusahaan. Keterlaluan banget kan?! 

Setibanya di BB, saya ketemu Bu Rian. Dia cerita kemarin minta izin dua jam saja untuk kondangan juga ga diizinkan. Dia mau ambil jatah cutinya yang masih banyak pun ga bisa karena kalau mau cuti meski sehari harus diajukan dua minggu sebelumnya. Hari itu juga saya coba mengajukan cuti utk 31 Oktober. Kanit juga tidak mengizinkan karena jatah cuti saya tinggal sehari. Dia bilang ga boleh cuti, tapi juga ga boleh ada pemotongan gaji. Ruwet banget kan?!

Saya tanya apakah perushaan ini punya buku putih? Dia ga tau apa itu buku putih. Waktu saya jelaskan buku putih adalah buku yang isinya aturan2 perusahaan, AD/ART perusahaan, dia ga tau apa perusahaan yang mempekerjakan kami mempunyai buku itu Waktu saya tanya soal UU Tenaga Kerja yang mengatur hak cuti pekerja, dia pun ga tau apa isi UU Tenaga Kerja. Dia bilang kalau saya mau tau tentang ketenagakerjaan di perusahaan, saya bisa tanya langsung ke SDM. Saya jawab seharusnya pemberitahuan dari SDM itu disampaikan secara struktural dan tertulis. 



Ternyata aturan ttg cuti dan izin itu baru dibahas secara lisan di rapat Kanit. Kalau gitu, seharusnya kan belum berlaku karena belum ada legalitasnya. Kemarin, akhirnya, setelah suasana memanas karena semua orang merasa dizalimi dengan aturan izin dan cuti itu, Ka Area mengadakan rapat. Intinya dia menjelaskan perusahaan sedang melakukan efisiensi, sedang memperbaiki sistem, dan sedang mengontrol setiap bagian dan setiap unit. Istirahat hanya boleh sejam, kalau lebih dianggap ga masuk sehari. Kalau cuti harus dua minggu sebelumnya (ttg cuti, kebijakannya dulu memang begitu sih, hanya di Buahbatu yang sangat longgar). 

Pada November, catatan kehadiran pengajar dan karyawan akan menggunakan sidik jari. Dan peraturan –peraturan baru lainnya yang sudah ditetapkan sebelum ada legalitas formal karena baru dibahas dan diputuskan di rapat kanit. Karena itulah, belum ada pemberitahuan tertulis yang ditandatangani dirut dan ada stempel perusahaannya. Di titik ini, setiap teman memaklumi dan mematuhi meski grundelan – grundelan itu tetep terdengar pelan. 

Kemarin saya mengajak teman – teman ( Bu KP, Bu KZ, Bu SI , Pak DC) untuk mengkritisi aturan –aturan GO berdasarkan UU Tenaga Kerja. Tapii sayang banget, mereka sudah apatis. Bu KZ ttp keukeuh kalau dia memang butuh pekerjaan ini. Bu KP berkeyakinan ini kan perusahaan milik perseorangan dan tdk berbadan hukum, jadi ya wajar kalau gini. Ternyata senior kita ini belum pernah baca UU Tenaga Kerja. Di pasal 1 kan dijelaskan pengusaha itu apa dan perusahaan itu apa. GO meski tidak berbadan hukum, dalam UU Tenaga Kerja, dia sudah termasuk perusahaan yang seharusnya mematuhi setiap aturan dalam UU Tenaga Kerja. Pak DC bilang ya sudahlah diikuti aja, ini paling berlaku sebentar, ntar juga seperti dulu lagi. Lagipula di usianya yang 35 tahun, dia merasa pasti sulit mencari pekerjaan baru. Ya sudah, diterima aja apa pun yang GO terapkan. Sementara BU SI, seperti biasa : diam lalu mengeluh di belakang. Saya berjalan sendirian dan berpikir sendirian. 

Ternyata di titik ini, ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Ternyata tingkat pendidikan ga bisa membuat orang menjadi lebih kritis. Ujung – ujungnya, seperti yang Ka Area sampaikan di rapat, “ Kalau masih mau gabung dengan perusahaan, ya patuhi aturan –aturan perusahaan. Kalau sudah ga kuat, bisa mengundurkan diri.” Kalau Bu KZ bilang,”Siapa yang kuat, dia akan bertahan.” 

Sementara menurut saya, “ Siapa yang lemah, dia akan bertahan.” Dan saya tidak ingin menjadi si lemah yang harus manut diapakan saja dengan peraturan yang menindas seperti ini. Dengan kondisi perusahaan yang ga jelas, yang menerapkan peraturan,” Perusahaan selalu benar, karyawan tak boleh melanggar.”