Beres-Beres Blog Baru

Ternyata berpikir rumit hanya akan membuat masalah makin rumit. Ini terjadi pada hal sepele yang meruwetkan pikiran saya beberapa hari terakhir ini. Mungkin teman saya pemilik akun definisi.net yang selalu saya tanyai tentang bagaimana caranya mengubah nama pengarang, mengapa ada tiga nama dalam blog saya, mengapa begini mengapa begitu, merasa gemas juga. hehehe...

Akhirnya, kemarin malam, alih-alih mengikuti instruksi dari salah satu blog tentang cara mengubah nama pengarang yang tidak kunjung berhasil, saya coba mengganti nama pengarang dengan mengedit profil blog. Tanpa banyak langkah, saya berhasil menggantinya. Horeee!! satu kelegaan melapangkan pikiran. Akhirnya nama pengarang sama dengan nama blog saya : siswiyantisugi. Senangnyaaa :-)

Hal selanjutnya yang akan saya coba ubah adalah mengganti judul blog ini dengan nama siswiyantisugi juga. Judul blog yang mulanya adalah curhatgurubimbel ini akan saya ganti saja karena bisa jadi tahun depan saya sudah bukan guru bimbel lagi. Kalau ganti judul ini, mungkin saya tetap akan mengikuti langkah-langkah yang disarankan salah satu blog hasil penelusuran di Google. Semoga berhasil mengganti. Kalau pun tidak, ya sudahlah, tak apa. Yang penting usaha dulu, berhasil atau tidak, urusan nanti.

Selain mengganti judul blog, sebenarnya saya ingin memindahkan semua tulisan saya di www.curhatgurubimbel.wordpress.com ke rumah baru saya ini. Namun, saya belum sungguh-sungguh mengutak-atik cara migrasi dari wordpress ke domain pribadi. Langkah-langkahnya sudah saya peroleh dari salah satu blog hasil penelusuran di Google minggu lalu. Tinggal menyediakan waktu untuk mempraktikkannya. Menyediakan waktu memang harus langsung dilakukan bukan sekadar diniatkan. Kalau hanya niat, kadang ia terlupakan.

Yang pasti, di rumah baru ini, saya akan lebih serius merawatnya. Mengisi tiap hari dan  berbagi apa pun yang layak dibagi. Semoga semua yang ada di rumah saya ini layak dibaca dan bermanfaat untuk teman-teman yang sempat singgah.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun menimbang-nimbang punya domain sendiri, awal bulan ini saya berhasil memaksa diri saya membeli domain. Jadilah www.siswiyantisugi.com sebagai nama blog baru saya.

Mulanya saya mengira begitu selesai mengelola domain sesuai petunjuk dari www.idwebhost.com, blog saya benar-benar baru: bersih dan kosong.  Ternyata tidak demikian. Karena mengelola domainnya dari blogspot, tulisan-tulisan jadul saya di blogspot ini tetap ada di siswiyantisugi.com.

Takhanya itu, nama pengarangnya pun, bukan siswiyantisugi, melainkan tetap lingkaran pelangi dengan judul blog tetap curhatgurubimbel. Hiks...ini ada tiga nama dalam satu blog. Tiga nama yang membuat saya segan mengisi blog.

Saya pun berusaha mencari tahu bagaimana mengganti judul dan pengarang blog. Setelah tanya sana-sini, ujung-ujungnya disarankan googling. Itu jawaban yang dianggap paling solutif dan ga bikin manja.hahaha...

Menulis agar Abadi

Ada tiga hal yang membuat manusia abadi: 
  1. Mempunyai keturunan
  2. Menanam pohon
  3. Menulis
(Anonim)
Bagi saya, agar jiwa dan pikiran saya tetap sehat, saya perlu menulis. Kegiatan ini sudah saya lakukan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saya masih ingat waktu kelas 5 SD, saya membuat buletin bergambar sampul Garfield. Dibuat di kertas buku yang saya robek bagian tengahnya. Saya lupa apa isi buletinnya. Kalau tidak salah isinya cerita tentang keseharian anak - anak SD pada umumnya. Sederhana sekali. Waktu itu buletinnya saya jual seharga Rp50,00. Ada beberapa teman yang membelinya. Setiap lihat Garfield, saya pasti ingat buletin dua lembar itu. "Kok dulu bisa ya bikin kayak gitu?" perasaan narsis saya mengagumi diri sendiri. hehehe...
Semasa SMP dan SMA, kegiatan menulis saya belum banyak kemajuan. Masih seputar buku harian dan surat menyurat dengan beberapa teman di kota lain. Mereka sahabat pena yang dipertemukan lewat surat pembaca yang saya kirimkan di Majalah Gadis. Lulus SMA, saya membulatkan tekad menjadi jurnalis. Sayangnya, orangtua tidak mendukung cita - cita itu. Agar bisa tetap menjadi jurnalis, saya memilih pers mahasiswa sebagai tempat berekspres

Janji LIterasi

  Banyak yang terjadi setahun belakangan ini. Pastinya sih begitu ya? ada 365 hari dan setiap jam atau harinya tidak akan sama. Yang sama mungkin temanya, tetapi isinya dari waktu ke waktu, dari hari ke hari tentu berbeda. Sebenarnya setiap ada hal menarik yang saya alami, ingin saya tulis sini. Namun sayang, keinginan tidak berbanding lurus dengan kesempatan menuliskannya. Penyakit klasik selalu muncul setiap duduk di depan laptop : mau nulis apa ya? yang kemarin sudah lupa detailnya. 

  Kebetulan malam ini saya masih berkutat dengan naskah soal yang harus segera saya selesaikan karena sudah tertunda kurang lebih tiga minggu lamanya. Masalah klasik yang muncul itu tidak pandang bulu rupanya. Writer’s block, sebutan untuk masalah klasik ini, terasa tidak hanya saat akan menulis feature atau fiksi, tetapi juga saat saya akan atau sedang menyusun naskal soal. ia mampir dan menghambat pekerjaan. Seringnya saya menyerah pada kondisi itu. Menutup jendela lalu mengalihkan perhatian pada hal lain, misalnya menonton film, berselancar di internet, atau menghabiskan waktu ngobrol bersama teman – teman kuliah di grup Whatsapp. Setelah itu, saya tidak kembali pada naskah, tetapi menutup laptop. Pekerjaan pun tertunda lagi berhari -hari bahkan bisa berbulan – bulan seperti naskah buku tes masuk Akpol dan Akmil yang sedang saya susun. 

 Belajar dari pengalaman tersebut, saya pikir saat writer’s block menyerang, sebaiknya saya tidak mengalihkan perhatian terlalu lama atau terlalu jauh. Saya tetap harus di depan laptop. Pengalihan perhatian harus tetap di seputar upaya mencari inspirasi untuk naskah yang sedang disusun. Maka, ini yang saya lakukan : menjenguk blog yang sudah hampir setahun tidak diperhatikan lalu mencoba menulis sesuatu. Sesuatu itu bisa tentang apa saja. Kali ini saya ingin bercerita tentang kegiatan menulis. Awal tahun 2016 lalu, saya memutuskan tidak membuat resolusi macam -macam. Resolusi saya hanya satu : fokus menulis. Di bulan kedua tahun ini, saya berusaha keras merealisasikan resolusi saya. Saya mulai dengan konsisten mengikuti komunitas menulis di Facebook. Ada beberapa komunitas yang saya ikuti, tapi hanya satu komunitas yang saya seriusi, yakni Merah Jambu Gabungan (MJG). Pertimbangannya karena di komunitas ini semua orang pun konsisten mengirimkan tulisannya dan kami saling memberi kritik dan saran. Bagi saya, kritik saran mereka sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan menulis saya, terutama di tulisan fiksi. 

Konsisten mengirimkan tulisan berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan admin grup merupakan salah satu janji literasi yang saya buat. Janji lainnya adalah rutin membaca satu buku setiap minggu. Janji selanjutnya setelah membaca adalah menulis resensinya. Jika buku yang saya baca masih baru, saya akan mengirimkan resensinya ke media massa. Namun jika itu buku lama, cukup saya tulis resensinya di blog. 

 Ada beberapa naskah nonfiksi yang juga ingin saya tulis. Salah satunya tentang spiritualitas N.H. DIni. Ide itu sempat meledak -ledak di pertengahan tahun 2015. Saya bahkan sempat mengontak seorang penulis yang dekat dengan N.H. Dini agar bisa dihubungkan dengan beliau. Minimal lewat surel. Namun, saya tidak bisa membujuknya agar ia mau menghubungkan beliau dengan saya. Alasannya jika tulisan saya tentang N.H. Dini akan dikirim ke media atau dijadikan buku, saya harus membayar waktu dan informasi yang saya peroleh dari beliau dengan sejumlah uang. Yah, karena asumsinya saya akan menerima kompensasi materi dari tulisan saya -jika tulisan saya dimuat- dan proses yang dialami N.H. Dini dalam berkarya selama puluhan tahun pun tidak gratis. 

 Akhirnya saya memilih menulis berdasarkan referensi yang saya miliki dan saya temukan ketimbang harus mewawancarai beliau dengan persyaratan itu. Bukannya pelit sih, tapi saya pikir bertemu beliau dan bertanya tentang beberapa hal yang sering lalu lalang di benak saya selama beberapa tahun terakhir ini bukan hal yang penting mendesak. Mungkin saya akan kembali menyeriusi ide ini setelah beberapa pekerjaan menulis yang penting mendesak selesai. 

 Janji literasi terakhir adalah menjadi blogger. Saya memang belum banyak tahu tips dan trik agar blog saya dibaca banyak orang. Saat ini yang ingin saya coba adalah mengikuti lomba – lomba blog. Dengan ikut lomba, tulisan di blog kita pasti dibaca juri. Minimal ada alamat blog kita dalam link tulisan yang mengikuti lomba. Sementara ini, itu dulu. Semoga bisa konsisten. Harapan yang sama di setiap resolusi dari tahun ke tahun : semoga bisa konsisten. 

 Kali ini, harapan itu saya tulis dan tanamkan dalam hati. Semoga saya bisa menepati janji ^_^

Lintang Hati

Seminggu ini Lintang dimarahi terus. Adaa saja tingkah lakunya yang sangat menjengkelkan. Semuanya adalah kebiasaan yang melekat : susah makan dan cengeng. Dua hal yang membuatku selalu kehabisan kesabaran. Padahal kesabaran tak berbatas, tak boleh habis, dan harus selalu diusahakan. Setelah anger management yang gagal minggu lalu ( baca : banting barang), minggu ini kutahan sekuat tenaga agar tak membanting apa pun saat kesabaranku menipis menghadapi perilaku Lintang.

 Di titik ini, aku bener-bener ga tau harus ngapain. Perilaku anak adalah cermin hasil didikan orangtua. Tanggung jawabku 100% terhadap perkembangan psikologis Lintang. Akan bagaimana dan menjadi apa ia kelak, semua bermula dari hari ini. Masih ada setahun untuk memapanka n hal – hal baik dalam dirinya.

Namun, makin hari makin aku tak tahu harus bagaimana? Membiarkan saja atau memaklumi karena dia anak – anak? Apakah harus kudiamkan kalau Lintang makan ga teratur dan ga jelas kualitas gizinya? Apakah harus kumaklumi kalau dia tak mau solat? Apakah harus kudiamkan kalau dia malas TST di GO padahal nilai matematikanya sangat ironis sementara aku pun kurang pandai matematika sehingga tak bisa membantunya? Apakah aku harus membiarkan Lintang malas mandi padahal bau badannya sangat mengganggu? Apakah harus kubiarkan ia tak mau solat dengan harapan kelak ia akan solat sendiri? Apakah hal – hal kecil yang buruk itu harus kubiarkan dengan harapan kelak ia akan tahu sendiri? Apakah itu bijaksana?

 Apa yang harus kulakukan? Bagaimana menyikapi pembangkangan anak hampir gede seperti lintang? Bagaimana menjaga stok kesabaran? Aku tak menuntutnya menjadi anak berprestasi secara akademis atau menjadi juara ini itu. Aku takkan menuntutnya. Yang kuharapkan Lintang mau berusaha, mau tertib, dan tidak moody saat tertib. Itu saja : mau berusaha. Sayangnya, Lintang tidak punya semua itu. Ia malas, cengeng, dan seenaknya sendiri. Ditambah manja.

 Allah, tidak adakah hal baik yang melekat pada karakter anakku? Setiap mempertanyakan itu, seringkali kuhibur hatiku kalau Lintang berhati tulus dan mudah trenyuh melihat kesulitan orang lain. Itu saja. Itu modal kecerdasan sosial, tapi selama ia masih sekolah, ia harus tertib dengan semua aturan. Kalaupun akademis tidak berprestasi, seandainya kegiatan di luar sekolah ada hasilnya. Atau minimal ia rajin mengaji dan solat.

Sayangnya, tak kutemukan itu padanya. Apakah karena aku sering memaksanya, potensi berbohong semakin besar? Aku tak tahu. Aku memaksa karena ia sudah keterlaluan seenaknya. Sudah terlalu banyak yang tidak mau dilakukannya padahal itu penting dilakukan. Sungguh, aku bingung di titik ini.

Apa yang harus kulakukan? Ancamanku mengirimnya tinggal sama ayahnya ekspresi ketidakberdayaanku sebenarnya. Tapi itu tentu bukan solusi. Solusinya ada padaku. Pasti ada jalan keluar meski belum jelas apa. Kumulai dari diriku sendiri. Tertib dariku sndiri. Tidur tidak larut malam dan bangun saat subuh lalu beraktivitas.

Semoga menjadi teladan untuk Lintang. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya, tampaknya mental semua. Kupilih tertib dalam diam. Hatiku jengkel luar biasa kepadanya. Sangat marah sebenarnya. Tapi, marah pun tak ada gunanya. Diam apakah membuat anakku paham?? Wallahualam.

Aku enggan kepadanya. Semoga enggan ini tidak menetap. Semoga berangsur hilang, semoga pemaafaan ini segera datang. Ia manusia buka robot. Ia punya kemauan dan kemampuan sendiri. Itu sudah kumengerti.

Namun, apakah salah memintanya mengaji, makan teratur sesuai takaran, dan belajar rajin agar ia bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Itu saja yang kuinginkan. Takperlu menjadi juara. Yang penting kamu berusaha dan bekerja keras, Nak. Itu saja yang ibu inginkan. Sayangnya, ibu tak melihat itu padamu hingga usiamu 11 tahun. Atau ibu harus menunggu lebih lama lagi? Sepuluh atau dua puluh tahun lagi?

 Semoga Allah senantiasa memberiku kesabaran . . . Astaghfirullahal’adziim . . .