Siapa yang nyaman berada di pasar tradisional? Sayaa! Dengan catatan, pasarnya ngga becek-becek banget, ngga bau-bau banget. Hahaha..
Dari sekian pasar yang pernah saya singgahi selama tinggal di beberapa kota di negeri ini, pasar yang masuk dua kriteria - pas beceknya, pas baunya – ada di Pasar Induk Ternate dan Pasar Demangan, Yogyakarta.
Ini sebenarnya cerita pengalaman semasa tinggal di dua kota itu di awal tahun 2000an. Saya tidak tahu kondisi dua pasar itu sekarang. Dugaan saya bisa jadi kondisinya sudah jauh lebih tertata dan pasti lebih bersih. Semoga dugaan saya benar. Kali ini saya akan bercerita tentang Pasar induk Kota Ternate.
Pasar Kota Ternate
|
Tahun 2004 – 2008 silam, saya sempat ber-KTP Kota Ternate, Maluku Utara. Seminggu dua kali saya belanja di pasar induknya. Gaya banget nih belanja cuma seuprit, tapi ke pasar induk. Gimana lagi, pasar ini yang paling dekat rumah.
Karena pasar induk, kelebihannya pasti sudah bisa diduga. Saya bisa mengakses berbagai hasil bumi baik yang asli Ternate maupun luar Ternate, seperti pulau-pulau di sekitarnya atau dari provinsi lainnya. Jadi, apa saja sih yang mengesankan dari pasar ini?
1. lokasi di dekat laut
Pedagang berjejer di lokasi yang takjauh dari laut. Mereka menjajakan berbagai sayur dan bumbu serta ikan. Sembari melihat-lihat berbagai sayuran, bumbu dapur, dan ikan asap, saya bisa menikmati keindahan laut.
Bagi saya yang lahir dan besar di kota tanpa pantai, bisa sering lihat laut rasanya istimewa. Apalagi ada pasar di dekat laut, betapa indahnya. Deburan ombak dan hiruk-pikuk pasar sebenarnya bukan perpaduan yang romantis. Namun, saya selalu merasa romantis setiap multitasking memandangi laut sekaligus belanja sayuran. Hehe..
Sebenarnya semua pasar di Kota Ternate berlokasi dekat laut. Pasar Gamalama, Pasar Bastiong, Pasar Dufa-Dufa, semua di tepi laut. Iya lah karena Ternate kan dikelilingi laut. Kebetulan di Ternate musim kemarau dan hujan tidak strict seperti di Jawa. Selama empat tahun di sini, hujan dan panas bergantian secara harmonis. Itu duluu, entah sekarang. Global warming membuat el nino dan el nina datang dan pergi seenaknya.
2. Penyajian barang dagangan yang khas
Pasar induk Ternate cukup luas. Di bagian luar pasar, biasanya banyak pedagang yang membuka lapak-lapak nonpermanent. Terpal kecil digelar lalu mereka menaruh dagangannya dalam jumlah kecil juga.
Pada kunjungan awal ke pasar, saya heran dengan cara para pedagang menggunakan kaleng susu kental manis atau piring plastic kecil untuk menakar cabe, tomat, bawang merah putih, kacang, dll. Mereka bilang satu kaleng itu dengan nama satu cupa. Ada kaleng besar, ada kaleng kecil. “Satu cupa berapa, Ci?” atau “Berapa ini satu cupa, Mama?”
3. Mengenal budaya masyarakat setempat
Meskipun saya bertetangga dengan orang-orang Ternate, kami biasa menggunakan bahasa Indonesia saat mengobrol. Kadangkala ada sih terselip kata – kata bahasa setempat, tapi jarang sekali. Kosa kata saya bertambah saat saya berinteraksi dengan para pedagang.
Dari interaksi itu pula, saya baru tahu panggilan untuk tukang ojek, sopir angkot, atau abang sayur adalah “Om”. Perempuan yang sudah berumur biasa dipanggil mama. Jika ia belum tua, tapi sudah dewasa, panggilannya “Cici”. Sementara, remaja perempuan dipanggil “cewe”. Nah, kalau berjilbab, para pedagang akan memanggil,”ustadzah.” Bener-bener panggilan berdasarkan penampilan. Hehehe…
Hal lain yang menarik, jalan ke pasar sambil maskeran termasuk pemandangan yang lazim. Etapi, maskerannya ngga kayak topeng seperti yang kita gunakan di rumah. Ini lebih ke bedak dingin yang dioleskan ke wajah. Tetep aja wajah penuh coreng-moreng warna kuning. Katanya sih, masker yang terbuat dari rempah-rempah itu befungsi juga sebagai sunscreen. Mm...baiklah..
Di pasar juga, saya belajar etika tawar-menawar. Kalau di Bandung atau Yogya, kita bisa sadis menawar, tapi jangan coba-coba di sini. Pedagang bisa mengomel panjang lebar. Mending kalau ngomelnya serupa gerutuan. Ini teriak-teriak segala. Tengsin banget kaan?!
Saya pernah menawar tiga buah paria dari Rp 10ribu menjadi Rp 5ribu. Habis deh saya diteriaki pedagang. Saya langsung ngacir, pura-pura ngga denger. Hahaha… Saya pun curhat pada ibu sebelah rumah.
“Lain kali pakai akhiran “kah” kalau menawar, Mama Lintang. Supaya pedagangnya ngga marah,” sarannya.
Baiklah, saya patuhi sarannya. Ternyata efektif sekali sarannya. Di titik ini, saat itu saya belajar bahwa kehalusan budi bahasa bisa meluluhkan hati.hehehe.. Jurus itu saya terapkan selama empat tahun tinggal di kota ini. Pun ketika saya belanja di pasar di Manado, tempat mertua tinggal. Saya pakai resep “kah” saat menawar. Resep itu efektif . hahaha..
4. hasil laut yang selalu segar
Saya bisa membeli ikan, cumi, udang, dan hasil laut lainnya dalam kondisi segar baru turun dari kapal.
Ikan laut dangkal, sotong, cumi, teri basah, dan udang dijual per loyang, sebutan untuk baskom kecil atau piring seng/plastik yang lebar. Sementara, ikan laut dalam, seperti kakap dan bubara dijual kiloan.
![]() |
dok.kieraha.com |
Biasanya saya membeli ikan komo, sejenis kembung kecil - kecil. Saya antusias banget kalau musim sotong ( cumi kecil-kecil). Dulu itu satu loyang harganya 5 - 10 ribu. Saya masak cumi saus hitam..sedapnyaa...
Oh ya, favorit saya yang lain adalah cakalang fufu alias tongkol asap. Dulu harganya sekira 8 - 15 ribu tergantung ukurannya. Cakalang asap bisa menjadi menu paling praktis selain gohu ikan.
***
Mengenang pasar tradisional Kota Ternate membuat saya rindu ingin mengunjungi kota itu. Kabarnya sekarang pasar-pasar tradisional di sana sudah dibenahi menjadi lebih rapi dan bersih. Dulu memang belum rapi dan tidak terlalu bersih. Namun, kondisinya tetap lebih baik ketimbang Pasar Andir dan Ciroyom di Kota Bandung yang saya tinggali.