Showing posts with label Hayu Dyah Patria. Show all posts

Hayu Diah Patria Pemberdaya Gizi Masyarakat dari Kearifan Pangan Lokal

tanaman liar bahan pangan lokal
daun sintrong bahan pangan lokal (dok.wikipedia.com)


Beberapa waktu lalu, saya membaca artikel kesehatan di salah satu media cetak. Artikel tersebut membahas persoalan stunting yang hingga kini  masih menjadi pekerjaan rumah pelik di Indonesia. Kondisi tumbuh kembang anak yang memprihatinkan berawal dari pola asuh dan pola makan. Banyak yang bilang sulitnya akses makanan bernutrisi bagi anaknya. 

Pada artikel lain di hari yang berbeda, saya membaca tulisan yang membahas tentang memanfaatkan bahan pangan lokal untuk atasi masalah kurang gizi di masyarakat. Akses mendapatkan makanan bergizi bisa diperoleh dari bahan pangan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar.
 
Sementara itu, berdasarkan data yang diolah tim Litbang Kompas (2022) dari berbagai sumber menjelaskan separuh lebih penduduk di Indonesia tak mampu makan bergizi. Ironi dari negeri yang katanya tongkat kayu pun bisa jadi tanaman.
 
Hasil penelitian terkini ini seharusnya membuka mata banyak pihak, terutama stakeholder terkait untuk segera membenahi kebijakan atau melakukan terobosan ketahanan pangan.
 
Apa yang harus dilakukan agar kerawanan pangan ini tak semakin parah? Bonus demografi yang kita miliki akan sia-sia di masa depan. Ketahanan pangan menjadi pekerjaan rumah utama agar kita bisa bangkit bersama untuk Indonesia.

Kepedulian terhadap ketahanan pangan juga dirasakan Hayu Dyah. Hayu percaya bahwa keanekaragaman di piring kita akan mengembalikan keanekaragaman di alam.

Berdayakan Tanaman Liar untuk Tingkatkan Gizi Masyarakat

Lulusan Teknologi Pangan dan Nutrisi Univesitas Widya Mandala Surabaya ini mulai berkenalan dengan aneka tanaman pangan liar pada tahun 2004. Kala itu, Hayu akan membuat penelitian tentang kandungan gizi mangrove.

Ternyata di tengah penelitian yang sedang dilakukan, Hayu juga menjumpai beragam jenis tanaman liar. Sejak saat itulah, Hayu bersama Tim Mantasa mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan pangan liar.

Setelah melakukan identifikasi, Tim Mantasa juga memaparkan pengetahuan tradisional di baliknya. Hingga saat ini, setidaknya Hayu dan timnya telah mendokumentasikan 400 jenis tumbuhan pangan liar lokal.
 

Hayu Diah Patria Pemberdaya Gizi Masyarakat (dok.womensearthalliance.org)

Hayu percaya bahwa solusi lokal adalah solusi yang terbaik dalam menangani masalah rawan pangan di Indonesia. Di tengah perjalanan penelitian, Hayu mendapati bahwa perempuan adalah aktor penting, tetapi tidak diakui perannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan gizi.

Dalam rangka menemukan tanaman pangan liar di wilayah yang ia tuju, Hayu banyak berbincang dengan para lansia yang tinggal di desa-desa. Pada kesempatan itu, perempuan kelahiran tahun 1981 ini menanyakan kepada para lansia, tanaman apa saja yang pernah mereka konsumsi sewaktu muda. Ternyata tanaman pangan liar yang pernah dikonsumsi di masa lalu banyak yang kita jumpai di sekitar kita. Sebutlah krokot, daun racun, tempuyung, legetan, dan sintrong.

Hayu percaya bahwa solusi lokal adalah solusi yang terbaik dalam menangani masalah kelaparan di Indonesia. Ia juga mendapati bahwa perempuan adalah aktor sentral, tetapi tidak diakui perannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan gizi.

Padahal perempuan sebagai ibu sekaligus manajer keluarga berperan penting menentukan dan mengolah bahan pangan keluarga. Kekuatan para perempuan jika berkolaborasi bisa membangun ketahanan pangan lokal demi ketersediaan gizi bagi keluarganya.

Kearifan Pangan Lokal Masyarakat Desa Galengdowo Tingkatkan Gizi Masyarakat

Terlebih di Desa Galengdowo, Kecamatan Wonoslam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tanaman pangan liar yang disebutkan para lansia umumnya masih amat mudah dijumpai. 

Seandainya pemanfaatan tanaman pangan liar dilakukan secara optimal, masalah kurang gizi bahkan kerawanan pangan bisa diantisipasi.
Tanaman pangan liar sebenarnya termasuk sumber pangan bergizi dan murah yang mudah didapat. Krokot, misalnya. Saya sering melihat tanaman liar ini, tetapi baru tahu kalau bisa dimasak.

Krokot bisa dimasak menjadi sayur bening atau urap-urap tidak pedas. Begitu pula dengan daun sintrong yang bisa diolah menjadi tumis daun sintrong. Bumbunya juga sederhana, sama seperti bumbu tumis pada umumnya.

Kearifan pangan lokal seharusnya tidak boleh sebatas jargon. Kita harus mengenal sumber daya pangan lokal yang mudah diakses di sekitar kita. Selanjutnya kita budidayakan secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya yang kita miliki.

Apabila kesadaran itu merata dimiliki masyarakat Indonesia, kerawanan pangan yang dikhawatirkan terjadi tahun 2023 tidak akan terjadi. Karena itu, singsingkan lengan baju seperti yang sudah dilakukan Hayu.

Dengan kegigihannya, Hayu berhasil mengidentifikasikan sekitar 300 spesies tanaman liar. Selain pencapaian itu, ia pun sukses mengundang kalangan akademis dan peneliti untuk menemukan kandungan nutrisi tanaman pangan liar serta berhasil meneliti 10 tanaman pangan liar secara mendalam.

Sementara itu, masyarakat Desa Galengdowo kini mulai mengonsumsi lebih banyak tanaman pangan liar dibanding makanan olahan dan terbiasa memelihara tanaman liar. Desa ini menjadi gambaran bagi luar negeri dan seharusnya negeri kita sendiri bahwa pangan lokal bisa menjadi tuan rumah sekaligus mengatasi gizi buruk yang menimpa anak-anak. 

Upaya Hayu Dyah Patria Meningkatkan Status Gizi Warga Galengdowo

Hayu Dyah Patria Penerima Satu Indonesia Awards 2011
dok.nasional.tempo.co

Sebenarnya apa masalah utama penyebab stunting pada anak Indonesia? Asupan gizi yang tidak memenuhi syarat menjadi penyebab utama. 

Keprihatinan Hayu Dyah Patria terhadap rendahnya asupan gizi masyarakat di daerah tempat tinggalnya, terutama anak-anak membuatnya berupaya mencari jalan memberikan edukasi sekaligus memberikan solusi menyediakan nutrisi yang mudah dan murah untuk masyarakat sekitar. 

Kepedulian Hayu Dyah Patria Penerima Apresiasi Satu Indonesia  Awards 2011

Hayu Dyah Patria, penerima Apresiasi Satu Indonesia  Awards 2011 mengenalkan pemanfaataan beberapa jenis tanaman liar kepada warga Galengdowo untuk meningkatkan status gizi keluarganya. 

"Tujuan saya memperkenalkan pemanfaatan tanaman liar ini kepada warga unntuk melestarikan tanaman lian, memperkuat ketahanan pangan, dan memerangi kekuarangan gizi dengan cara yang masuk akal," jelas Hayu Dyah, perempuan kelahiran Gresik pada 27 Januari 1981.

Mengapa ia menyebutnya 'masuk akal'? 

"Masuk akal ini karena bisa dikembangkan dengan mudah dengan peralatan sederhana,"ujar Dyah. 

Manfaat Tanaman Liar bagi Peningkatan Status Gizi Masyarakat

Kondisi status gizi masyarakat yang memprihatinkan menjadi tantangan bagi Dyah. Dia pun mencari sumber daya alam di sekitarnya yang mudah dijangkau orang kebanyakan.

Ternyata di daerah tersebut, banyak dijumpai daun kastuba dan daun krokot. Dua jenis tanaman liar yang sangat mudah didapat di Desa Galengdowo, Kecamatan Wonoslam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Dyah memilih daun kastuba karena kandungan mineralnya yang berlimpah. Sementara itu, daun krokot, yang dikenal sebagai makanan kesukaan jangkrik, kaya berbagai macam vitamin. Hal yang paling penting tentu saja kandungan senyawa pendongkrak kecerdasan.

"Ternyata daun krokot banyak mengandung asam lemak omega-3 yang bermanfaat untuk perkembangan sel otak anak," ulas Dyah.

Daun kastuba bisa diolah menjadi masakan urap-urap, buntil, pepes brengkesan, oseng-oseng juga lodeh. Penyajian untuk anak bisa dimasak urap-urap tanpa cabai atau sayur lodeh. Intinya diolah dengan bumbu-bumbu yang bisa diterima lidah dan pencernaan anak-anak.

daun kastuba atasi gizi buruk
dok.shutterstock.com

Bagaimana dengan menu dari daun krokot? Anak-anak bisa mengonsumsinya sebagai sayur bening krokot atau urap-urap tidak pedas. Untuk orang dewasa, menunya bisa lebih bervariasi. Kita bisa mengolahnya menjadi plecing, tumis, atau sambal krokot.


daun krokot atasi gizi buruk
dok.tribunjogja.com

Apabila masyarakat Indonesia mengetahui beragam khasiat dari tanaman-tanaman lokal yang ada di sekitar mereka, tidak akan ada laporan data statistik bahwa angka kekurangan gizi di Indonesia masih tinggi, yaitu 17,9%.

Menurut Dyah penyebab utama tingginya angka kekurangan gizi di Indonesia adalah kemiskinan. Masyarakat kelompok ini tak punya cukup uang untuk membeli bahan makanan bergizi untuk anak-anaknya. 

Oleh karena itu, pengetahuan dan wawasan mengenai kandungan gizi pada tanaman lokal harus terus digencarkan. Setiap daerah pasti  mempunyai tanaman lokal yang khas.  Kalau di Galengdowo, tanaman lokalnya ternyata identik dengan tanaman liar, daun kastuba dan krokot. 

Sebagai entry point, tanaman ini bisa didapat tanpa uang. Tinggal petik lalu dimasak. Kandungan gizinya sama tingginya dengan tanaman budidaya. 

Upaya Dyah mengenalkan daun kasuba dan daun krokot pada masyarakat Desa Galengdowo merupakan bagian dari #BangkitBersamaUntuk Indonesia karena #KitaSATUIndonesia.