![]() |
foto: jayakartanews.com |
Bayangkan seorang anak perempuan berusia 14 tahun dipaksa menikah, meninggalkan mimpinya untuk sekolah, dan menghadapi risiko kesehatan fisik serta mental yang serius. Inilah realitas pernikahan dini yang masih menghantui banyak anak muda di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.
Melalui GenRengers Educamp, Nordianto berupaya menekan angka pernikahan dini dengan mengedukasi dan memberdayakan remaja untuk masa depan yang lebih baik.
Apa Itu Pernikahan Dini?
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum seseorang mencapai usia 18 tahun. Praktik ini tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga mengganggu perkembangan psikososial mereka.
Berdasarkan Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson, remaja (usia 12-18 tahun) berada pada tahap “Identitas vs Kebingungan Peran”. Rentang usia tersebut merupakan masa remaja mencari jati diri dan tujuan hidup.
Adanya tradisi pernikahan dini dapat mengganggu tahap ini. Remaja bisa mengalami kebingungan identitas, rendahnya harga diri, dan masalah kesehatan mental,
seperti depresi atau kecemasan.
Selain itu, pernikahan dini juga meningkatkan risiko gangguan kesehatan reproduksi dan kemiskinan berkepanjangan. Sayangnya, banyak masyarakat masih memandang pernikahan dini sebagai solusi atas masalah ekonomi atau bagian dari tradisi tertentu.
Masalah Pernikahan Dini di Kalimantan Barat
Kegelisahan akan maraknya pernikahan dini dirasakan Nordianto, pria kelahiran 1994 dari Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Hingga tahun 2014, Kalimantan Barat termasuk tiga besar provinsi di Indonesia dengan angka pernikahan anak tertinggi, dengan sekitar 27% anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun (data Badan Pusat Statistik).
Nordianto juga terinspirasi dari kisah ibunya yang menikah di usia muda. “Ibu sering bercerita tentang penderitaannya, sering sakit karena hamil di usia muda, berkali-kali keguguran, dan kesehatan reproduksinya menurun,” ungkap Nordianto, yang akrab disapa Anto. Ibunya berandai-andai, seandainya tidak menikah dini, ia mungkin memiliki kehidupan yang lebih baik dan sukses.
GenRengers Educamp: Solusi Berbasis Pemberdayaan
Untuk mengatasi masalah ini, Anto mendirikan GenRengers Educamp pada tahun 2016. Sesuai dengan namanya “educamp”, yaitu program berkemah yang memberikan edukasi dan pelatihan kepada remaja. Pendekatan tersebut sejalan dengan Teori Pemberdayaan Komunitas. Teori ini menekankan pentingnya memberikan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri kepada individu agar mereka dapat mengatasi masalah sosial di lingkungan mereka.
![]() |
Nodianto Hartoyo Penggagas Genrengers (foto : Kempenpora.go.id) |
Program Genrengers Educamp tidak langsung melarang pernikahan dini, tetapi lebih fokus pada mengajarkan kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, dan pentingnya kemandirian ekonomi dalam rumah tangga.
Tujuannya untuk membekali anak muda pengetahuan agar mereka sendiri menyadari risiko pernikahan dini. Lebih dari itu, GenRengers Educamp melatih peserta menjadi kader lokal yang menyebarkan informasi ini di komunitas mereka kemudian menciptakan efek berantai dalam pencegahan pernikahan dini.
Dampak Nyata GenRengers Educamp terhadap Tradisi Pernikahan Dini di Masyarakat
Sejak berdiri, GenRengers Educamp telah menjangkau 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat dan direplikasi di lima provinsi lain hingga tahun 2019. Program ini telah melibatkan lebih dari 1.500 remaja dan melahirkan 20 relawan inti yang aktif menyebarkan edukasi.
Menurut laporan internal GenRengers, angka pernikahan dini di beberapa kabupaten menurun hingga 15% di wilayah yang aktif menjalankan program ini. Keseriusan Anto juga membuahkan penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT. Astra Internasional. Ia bahkan menjadi delegasi Asia-Pasifik pada Indigenous People Youth Conference di Rio De Janeiro, Brasil, di mana ia memaparkan pandangannya tentang pernikahan dini.
Namun, kiprah Anto tidak berhenti di Kalimantan Barat. Kini, ia menjadi volunteer program European Union sebagai pengajar Cross Cultural Understanding di Polandia. Selain itu, sebagai Presiden Forum Generasi Berencana Indonesia, Anto terus memperluas jangkauan kepeduliannya hingga ranah internasional.
Update Terkini GenRengers Educamp: Ekspansi dan Dampak Berkelanjutan di 2024-2025
Pada tahun 2024, GenRengers Educamp terus menunjukkan momentum pertumbuhannya, sejalan dengan upaya nasional pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang berhasil menurunkan angka pernikahan anak sebesar 6,92% pada 2023, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Program ini kini telah mencetak lebih dari 400 remaja per tahun sebagai duta anti-pernikahan dini, yang tersebar di 14 kabupaten/kota Kalimantan Barat dan direplikasi di provinsi-provinsi seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Dengan tim relawan inti yang kini mencapai 20 orang, kegiatan educamp diadakan setiap dua pekan sekali di pelosok daerah, fokus pada pendidikan alternatif yang menangani isu tabu seperti pola pergaulan bebas dan narkoba (NAPZA).
Kisah Inspiratif Peserta GenRengers Educamp
Kisah inspiratif Adinda Aisyah Nindyani, siswi kelas XII SMAN 2, Sanggau, yang menjadi kader sejak 2020, menunjukkan peran program ini membentuk role model remaja. Adinda kini aktif mengampanyekan edukasi kesehatan reproduksi di sekolahnya. Ia optimis edukasi ini bisa membantu menurunkan kasus pernikahan dini di wilayahnya.
Demikian pula dengan Iyan, Ketua Forum Anak Kalimantan Barat sejak 2017. Ia memanfaatkan pengalaman educamp untuk menjadi Duta GenRe di Kabupaten Sintang. Iyan yakin edukasi yang dilakukan dari remaja, oleh remaja, dan untuk remaja lebih efektif membangun kesadaran kolektif.
Dukungan terhadap GenRengers cegah Pernikahan Dini Semakin Meluas
Pada Oktober 2024, Nordianto kembali menjadi sorotan melalui liputan media nasional seperti VIVA.co.id yang menyoroti bagaimana GenRengers Educamp menjadi pilar utama gerakan “Menekan Pernikahan Dini” dengan pendekatan berkemah yang inovatif.
Program ini kini terintegrasi dengan inisiatif nasional, termasuk kolaborasi dengan Genre Indonesia, untuk mencapai target penurunan lebih lanjut di 2025. Menurut Nordianto dalam wawancara terbaru pada November 2024 di situs Meiliawury.com, “Kami tidak hanya mengedukasi, tapi membangun superhero lokal yang siap melindungi generasi muda dari jerat tradisi yang merugikan.”
Ekspansi internasional Nordianto sebagai pengajar di Polandia juga membawa elemen cross-cultural, di mana ia berbagi pengalaman GenRengers untuk menginspirasi program serupa di Eropa Timur. Hingga akhir 2024, GenRengers telah menjangkau lebih dari 5.000 remaja secara kumulatif. Pada tahun 2025, program GenRengers mencakup pelatihan digital untuk kader di daerah terpencil agar bisa memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan edukasi.
Dampaknya tidak hanya terukur dari penurunan statistik, tapi juga dari cerita pribadi. Remaja yang dulu terancam pernikahan dini kini mengejar pendidikan tinggi dan kemandirian ekonomi. Mereka mampu membuktikan bahwa pemberdayaan komunitas adalah kunci perubahan berkelanjutan.
Di tengah tantangan seperti akses internet terbatas di Kalimantan Barat, tim GenRengers terus berinovasi, seperti mengintegrasikan modul literasi digital untuk membahas risiko online grooming yang sering memicu pernikahan dini. Dengan dukungan dari Kemenpora dan mitra swasta, program ini diproyeksikan menjangkau 10 provinsi baru pada 2025. Harapannya Kalimantan Barat bisa menjadi model nasional untuk pencegahan pernikahan anak.
Mari Bersama Wujudkan Masa Depan Cerah
Perjuangan Nordianto menunjukkan bahwa satu orang dengan visi besar dapat mengubah nasib banyak anak muda. Mari kita dukung inisiatif yang sudah diprakarsai GenRengers Educamp dengan menyebarkan kesadaran, mendukung pendidikan anak muda, atau menjadi relawan di komunitas kepemudaan di sekitar kita.
Bersama, kita bisa memastikan anak-anak Indonesia meraih mimpi mereka tanpa terjerat pernikahan dini yang penuh risiko. #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia