Review Film Bumi Manusia : Tiga Jam Yang Tidak Membosankan


Meskipun saya kurang sreg dengan Iqbaal sebagai Minke, saya tetap menonton Bumi Manusia. Sebagai pembaca tetralogi Pulau Buru, saya penasaran juga ingin tahu bagaimana Hanung menerjemahkan 535 halaman novel Bumi Manusia ke dalam film berdurasi 181 menit.

Jadi, semua bermula dari rasa ingin tahu. Selain itu, saya pun takingin menghakimi film Bumi Manusia tanpa menontonnya lebih dahulu. Sebagai aktor, saya yakin Iqbaal yang identik dengan Dilan pasti bekerja keras memahami karakter Minke dan menghidupkannya dalam film. Pasti ada workshop, pendalaman karakter, dan sebagainya.

Jadilah, di hari perdana pemutarannya, 15 Agustus 2019, saya menonton Bumi Manusia. Mulanya saya kira kursi di studio akan penuh. Ternyata dugaan saya meleset. Hanya sepertiga kursi terisi.

Film ini dibuka dengan lagu Indonesia Raya. Sayangnya, saat lagu ini dikumandangkan, penonton tetap duduk manis. Mungkin seharusnya ada yang mengomandoi untuk berdiri. Saya pun ragu -ragu untuk berdiri karena yang lainnya duduk, hehe..

Alur Cerita Film Bumi Manusia

Setelah lagu Indonesia Raya berkumandang, layar dibuka dengan rangkaian gambar kondisi Indonesia pada tahun 1890an. Bersamaan dengan itu, ada monolog keprihatinan Minke tentang ketertindasan bangsanya sekaligus kekagumannya pada modernitas yang dibawa Eropa.

Minke keturunan bangsawan sehingga ia bisa sekolah di HBS. Pendidikan Eropa yang diterimanya sejak duduk di sekolah dasar membuatnya terkagum - kagum pada semua hal tentang Eropa. Kekaguman itu pelahan redup sejak perkenalannya dengan Nyai Ontosoroh, perempuan pribumi yang menjadi selir Herman Mellema, pemilik Boerderij Buitenzorg di Wonokromo.

Kisah ini dimulai oleh gedoran Robert Suurhof di pintu kamar Minke. Gedoran itu menimbulkan keriuhan di pagi hari. Mevrouw Telinga, ibu kost Minke, keluar dan menegur Robert. Sementara itu, Minke yang masih amat mengantuk terpaksa membuka matanya. Minke spontan keluar kamar melihat keramaian begitu Robert memberi tahu hari ini penobatan Ratu Wilhelmina.

Kemeriahan penobatan Sang Ratu Belanda terasa hingga negeri jajahannya, Hindia Belanda. Bendera merah putih biru berbagai ukuran dikibarkan. Orang - orang Belanda merayakannya dengan berwisata, makan -makan, juga berbelanja. Indo dan Pribumi pun tidak ketinggalan meskipun mereka takbisa masuk ke kafe  orang-orang Eropa.

Ajakan Robert Suurhof mengunjungi Buitenzorg, tempat tinggal Robert Mellema, pada Minke ternyata malah membangun relasi romantis antara Minke dan Annelies. Suurhof hanya bisa gigit jari melihat Annelies, adik Robert Mellema sekaligus pujaan hatinya, langsung terpikat pada Minke.

Meskipun Annelies cantik tiada banding, bukan Annelies yang meninggalkan kesan mendalam di hati Minke, melainkan Nyai Ontosoroh, ibunda Annelies. Sosok Nyai Ontosoroh amat berbeda dengan nyai - nyai lain yang selama ini dikenal masyarakat Hindia Belanda. Perempuan bernama asli Sanikem itu cerdas, berpendidikan, dan fasih berbahasa Belanda.

Konflik pun bergulir sejak Minke berkenalan dengan keluarga kaya raya, tetapi penuh luka. Mulai dari teguran keras Ayah Minke, Bupati B, terhadap kedekatannya dengan sang Nyai hingga terseretnya ia dalam pengadilan pembunuhan Herman Mellema, ayah Annelies.

Film Bumi Manusia lebih fokus pada kisah cinta Minke dan Annelies. Pemikiran dan perjuangan Minke melalui tulisan adalah penunjang cerita. Namun, ini juga takbisa dipersalahkan. Mengapa? Tujuan awal pembuatan film Bumi Manusia memang bermaksud memperkenalkan karya Pramoedya Ananta Toer kepada generasi milenial akhir hingga generasi Z.

Jika yang disampaikan pergolakan pemikiran Minke, cerita akan rumit dan takcukup menerjemahkannya dalam 181 menit. Karena itu pula, peran Magda Peter, guru sastra HBS yang menjadi partner diskusi Minke, tidak menonjol seperti diceritakan dalam novelnya.

Apa yang Membuat Film Ini Bagus?


Sinematografinya cantik.

Pengaturan kamera, pencahayaan, dan aspek visual dalam film ini tersaji cantik dan indah.

Properti filmnya oke

Tim produksi film berhasil menghadirkan desain set yang mampu menghidupkan suasana kolonial, seperti dalam novelnya. Beberapa contoh adalah kostum Nyai Ontosoroh, peralatan makan yang klasik, koran berbahasa Belanda dengan isi berita yang cukup detail, dan sebagainya.
Para Pemeran Bumi Manusia

Banyak orang meragukan Iqbaal sebagai Minke. Keraguan itu menyebabkan keengganan menonton  film ini. Padahal, Minke dalam film tak mengecewakan kok. Meskipun Iqbaal terlalu ganteng sebagai  Minke dan beberapa ekspresi masih kurang mengena, kerja keras Iqbaal tetap saya apresiasi. Setidaknya sekarang saat membaca lagi novel Bumi Manusia, yang ada di benak saya adalah Minke yang  ganteng. hehehe...
    
Bagaimana dengan Annelies di film? Kecantikannya meleset dari yang saya bayangkan sebagai bunga penutup abad. Ia pun tidak terlampau kekanak - kanakan seperti yang diceritakan Pram dalam novelnya. Namun, Mawar Eva tetap memesona sebagai Annelies yang ceria dan kuat dalam  kerapuhannya melawan tumpukan trauma.

Lalu adakah yang memenuhi ekspektasi sebagai tokoh yang sama persis seperti dalam novelnya?

Nyai Ontosoroh dan Annelies (dok. falconpicture)

Tentu saja ada. Sha Ine Febriyanti berhasil menjadi Nyai Ontosoroh yang tangguh, cerdas, tegas, dan bijaksana. Ekspresi wajah, sorot mata, dan bahasa tubuhnya sangat natural. 

Pun dengan Wani Dharmawan sebagai Darsam. Seniman dari Yogyakarta ini menjelma menjadi Darsam yang garang, sangar, tetapi amat setia pada Nyai Ontosoroh. Kumis baplang, sorot mata tajam, baju serbahitam,. dan sebilah parang di pinggang. Dialah penjaga keselamatan Nyai Ontosoroh, Annelies, dan Minke. Bahkan Herman Mellema dan anak laki -lakinya, Robert Mellema, langsung gentar hanya mendengar namanya.


dok. idntimes.com
Ayu Laksmi sebagai Ibunda Minke. Scene-nya sedikit, tetapi aktingnya luar biasa. Perempuan bangsawan Jawa yang bijaksana, lembut, dan teguh  terpancar dalam suara dan sorot matanya. Sementara, Donny Damara, sang Ayahanda hampir tak saya kenali. Kumis tebal melintang, suara dalam, dan galak. Sosok Bupati feodal pada umumnya.

Christian Sugiono sebagai Kommer. Ia adalah jurnalis yang sangat bersimpati pada masyarakat Hindia Belanda. Perannya termasuk sentral dalam perjalanan Minke di tetralogi Pulau Buru. Sama seperti Jean Marais. Bedanya, saya melihat akting suami Titi Kamal ini kurang nendang. Mungkin karena hanya ada dua scene, jadi belum terasa betul kehadirannya.

Pemeran figuran sebagai pembantu rumah tangga Nyai Ontosoroh juga berperan penting menghidupkan suasana segar. Kelucuan muncul pada celetukan dan ekspresi mereka. 

Pesan Moral Film

Quote inspiratif bertebaran di film ini. Jean Marais menekankan tentang mahapentingnya adil sejak dari pikiran bagi kaum terpelajar. Sementara Nyai Ontosoroh berulangkali menyampaikan kita harus melawan sebagai bentuk mempertahankan kehormatan.  "Dengan melawan, kita takkan sepenuhnya kalah, Nyo."

Perlawanan terhadap diskriminasi kelas di masa kolonial seharusnya bisa menjadi renungan bagi kita tentang betapa berhargannya pengakuan atas kemerdekaan dan persamaan hak martabat yang kita miliki di masa sekarang.

Nyai Ontosoroh yang kaya raya tak berdaya menghadapi diskriminasi kelas yang dialaminya. Begitupula dengan Minke. Meskipun bangsawan terpelajar, ia harus menerima pernikahan legalnya secara Islam dianggap takada di hadapan hukum Belanda. Di titik itu, saya merasa betapa malangnya kita sebagai bangsa Pribumi. Bahkan hukum Islam pun tidak dianggap ada oleh pemerintah kolonial. Tragisnya..

Agar tak penasaran, sebaiknya tontonlah film ini. Agar tak tergesa menyimpulkan hanya dari review -review yang sudah dibaca, termasuk review saya. Salam :)

24 comments

  1. Sayang sekali saya belum sempat baca novelnya Teh huhu btw ada Christian Sugiono juga ya aduh aku ngefans banget dan baru tau ttg teater bunga penutup abad yg diperankan aa eza, chelsea dan happy salma.. Berkaitan ya itu saya ga update selama menyusui dulu tuh jadi baru tau sekarang, nyesel deh huhu

    ReplyDelete
  2. Sampai ada yang nonton 2x yaaah....
    Btw, sepakat saya suka dengan properti yang digarap apik. Hingga Printilan-printilannya. Mengajak benak penonton untuk merasakan suasana sebelum kemerdekaan

    ReplyDelete
  3. Wah jadi pengen nonton mba. Terima kasih reviewnya mba.

    ReplyDelete
  4. Maju mundur mau nonton film ini karena 3 jamnya itu. Tapi ga ngebosanin katanya ya mbak. Mungkin minggu depan mau nonton setelah kejuaraan bulutangkis selesai. Hehehe...

    ReplyDelete
  5. Bunda mo nonton dua atau tiga kali lagi

    ReplyDelete
  6. Keren reviewnya, Teh. Udah penasaran nonton film ini. 🙂

    ReplyDelete
  7. Makin penasaran pengen nonton, liat akting pemainnya terutama sha ina juga penasaran gmn hanung ngemas filmnya. Makasih y mbk udah direview. Smoga aku bs segera nonton

    ReplyDelete
  8. Jadi penasaran. Karena ada yg bilang film tidak sesuai dengan novel nya. Film lebih banyak romance nya. Makasih buat review nya

    ReplyDelete
  9. Dengar komentar orang banyak yang bilang film ini membosankan. Tapi setelah baca review nya jadi oenasaran dan pengen nonton. Masih ada gak ya di bioskop?

    ReplyDelete
  10. Saya tetap suka Iqbaal dalam peran apapun,agar dia lebih tertantang lagi aktingnya. 3 jam yang nggak ngedipin mata melihat zaman Indonesia tempo dulu.

    ReplyDelete
  11. saya belum nonton sih mbak tapi penasaran aja sama akting ikbal
    semoga benar sesuai ekspektasi saya karena novelnya bagus banget

    ReplyDelete
  12. PAdahal aku pengen banget nonton film Bumi Manusia ini, mbak. Jika di lihat dari trailer yang membuat saya penasaran tuh dari propertinya di set seperti masa kolonial gitu, selain itu gimana akting dari Iqbal 'Dilan' tersebut. Aku rasa tetap tontonable banget film ini mbak. Sayangnya belum pernah baca novel Bumi Manusia, jadi ga tau versi tulisan sama filmnya
    Makasih sharingnya Mbak ^_^

    ReplyDelete
  13. aku belom nonton nih, nunggu cair invoice wakakak, kalo dari trailernya tension yg diciptakan sepertinya keren, semoga nggak mengecewakan deh

    ReplyDelete
  14. Aku sdh bberapa kali nonton trailernya dan bts nya. Penasaran. Begitu membaca blog ini, kaya makin di panggil2 gitu buat nonton. Tapi sepertinya gak bisa bawa anak ya kalo nonton ini karena gak cocok utk anak. Hiks..

    ReplyDelete
  15. Ahhhh, bener banget, baru kali ini lihat film Indonesia hampir 3 jam tanpa bosan. Sayang banget neh, akting Ikbal nggak optimal

    ReplyDelete
  16. Huhuhu pengen nontooonnnn. 3 jam ya asyik buat pacaran ma suami haha.
    Tapi aku jd kepengen sekali beli bukunya, meski nelat banget kyknya ya :(
    Beneram nih penasaran jalan ceritanya, sekalian bayangin sejarah masa lalu yaa

    ReplyDelete
  17. Pengen banget nonton film ini, penasaran dengan jalan ceritanya sambil mengingat kembali jalinan kisahnya di novel, tapi di sini nggak ada bioskop, mesti ke Bandung dulu nih kalau mau nonton

    ReplyDelete
  18. Wih, 3 jam! Tapi baca review ini kayaknya emang gak ngebosenin, deh. Penasaran sama aktingnya untuk Nyai Ontosoroh dan ibu Minke. Senatural apakah? Hehe.

    ReplyDelete
  19. Kalau yang saya pelajari sih pentingnya keberanian, persatuan dan kesatuan, Kalau gak bersatu, kita gak bisa merdeka. Yang saya lihat disini betapa pedihnya rasa dijajah.

    ReplyDelete
  20. Aku pengen nonton film ini. Apalagi yang meranin iqbal..penasaran sebagus apa. Kira kira bikin aku kecewa gak karena novelnya dasyat

    ReplyDelete
  21. Anak saya dan kawan-kawannya antusias banget mau nonton film Bumi Manusia. Kalau dilihat dari reviewnya, memang cukup rame ya...

    ReplyDelete
  22. Bumi manusia sih gila filmnya bagus banget kak dan alur ceritanya tuh tidak ngebosenin dan malahan vikin nagih ingin nonton lagi

    ReplyDelete
  23. Sempet jadi kontroversi ya peran ikbal sbg minke ini.
    Aku blm baca bukunya dan blm nonton filmnya, tapi dulu pernah lihat pementasan theaternya, pemeran minke reza rahardian dan anneliesnya chelsea island.

    ReplyDelete
  24. Pesan moralnya ngena di hati banget iya mba, "tentang betapa berhargannya pengakuan atas kemerdekaan" sampai segitunya membela.. Ini bener filmnya 3 jam? Buset ternyata lama banget.

    ReplyDelete