![]() |
| foto:istimewa |
Sepatualang: Edisi Jalan-jalan ke Bukittinggi dan Padang menampilkan kekuatan utama tulisan Yunis Kartika. Ia memadukan gaya bertutur yang akrab dengan narasi perjalanan yang personal dan reflektif.
Sekilas Buku Sepatualang : Edisi Jalan-Jalan ke Bukittinggi dan Padang
Buku ini bukan sekadar daftar destinasi, melainkan catatan perjalanan yang hidup. Kisahnya dituturkan tidak hanya dari sudut pandang penulis, tetapi juga melalui “suara” sepasang sepatu bernama Samayo. Pilihan sudut pandang yang unik ini membuat pengalaman menyusuri Bukittinggi dan Padang terasa jenaka, imajinatif, dan dekat dengan keseharian pembaca.
Secara garis besar, isi buku terbagi dalam dua bagian besar yang mengikuti alur perjalanan tokoh dan Samayo menjejakkan kaki di Bukittinggi lalu berlanjut ke Padang. Di setiap kota, pembaca diajak mengikuti rangkaian kunjungan ke tempat-tempat ikonik, momen perjumpaan dengan warga lokal hingga pengalaman mencicipi beragam kuliner.
Semuanya disusun dalam bentuk episode-episode pendek sehingga mudah dinikmati sebagai kisah lepas atau sebagai rangkaian utuh sebuah perjalanan.
Tiga Kekuatan Utama Tuturan Yunis Kartika
Setiap penulis mempunyai ciri khas dalam menuturkan ide-idenya. Ciri khas ini menjadi kekuatan ketika mereka menerjemahkan gagasan menjadi rangkaian kata yang seakan berjiwa. Hal yang sama tampak jelas pada narasi-narasi Yunis Kartika dalam buku Sepatualang: Edisi Jalan-jalan ke Bukittinggi dan Padang.
1. Kekuatan Membangun Ruang Penuh Memori
Kekuatan pertama tampak pada kemampuan penulis membangun suasana kota sebagai ruang penuh memori bukan sekadar latar foto.
Di bagian Bukittinggi, misalnya, Yunis menggambarkan Jam Gadang, rumah kelahiran Bung Hatta, Lubang Japang, dan Ngarai Sianok tidak hanya sebagai objek wisata, tetapi juga sebagai media untuk mengingat sejarah, luka penjajahan, dan ruang humanis tempat warga berkumpul.
Yunis mendeskripsikan keempatnya sebagai selipan sejarah singkat dan refleksi emosional. Kesan hangat sekaligus informatif melekat pada pembaca.
2. Kekuatan Memadukan Alam, Religiusitas, dan Kuliner secara Filosofis
Kekuatan kedua berada pada cara penulis menonjolkan perpaduan alam, religiusitas, dan kuliner ketika bercerita tentang Padang. Masjid Raya Sumatera Barat, pantai-pantai seperti Purus, deretan museum, serta rendang dan kuliner khas Minang digambarkan secara detail.
Melalui tiga aspek tersebut, Yunis menonjolkan filosofi dan nilai hidup orang Minangkabau. Pembaca bukan hanya “diajak makan”, melainkan juga diajak memahami bagaimana sebuah masakan menyimpan kisah kerja keras, kebersamaan keluarga, dan kearifan lokal tentang kesabaran dan proses.
3. Kekuatan Deskripsi yang Kontemplatif
Kekuatan ketiga terletak pada perpaduan deskripsi tempat, dialog ringan, dan renungan yang membuat alur narasi mengalir dan mudah diikuti. Yunis menggunakan tokoh sepatu Samayo untuk menjahit fragmen-fragmen perjalanan menjadi kisah utuh tentang langkah-langkah kecil yang menyimpan kisah besar.
Sementara itu, gaya bahasa Yunis yang ringan dan komunikatif membuat buku ini cocok, baik bagi pembaca yang ingin merencanakan perjalanan ke Sumatra Barat maupun yang sekadar ingin “jalan-jalan” lewat imajinasi dari rumah.
---
Pada akhirnya, tulisan Yunis Kartika menjadikan buku ini sebuah ajakan untuk memaknai perjalanan lebih dalam: bukan hanya berpindah dari satu kota ke kota lain, melainkan juga menyelami cerita, sejarah, dan nilai yang dilewati setiap langkah.


No comments